Jumat, 19 Juni 2009

“Menjumpai Allah Semasa Hidup di Dunia”



SEKILAS RIWAYAT PENULIS

Nama lengkap penulis Mursalim, nama panggilan Salim, kelahiran tahun 1973 di salah satu daerah di Sumatera bagian Selatan. Keseharian penulis bekerja di salah satu perusahaan swasta, yaitu group Perusahaan furniture terbesar di Indonesia sebagai Team IT/MIS (Programmer Komputer).

Juli 1995 atas izin Allah SWT, Alhamdulillah penulis dipertemukan kepada seorang Mursyid (guru) yang sudah mengenal Allah (Ma’rifatullah) yang bernama Kyai Penitis DW, yaitu salah satu pewaris ilmu tasawuf dari Sunan Kudus generasi ke 10. Yang Allhamdulillah, dengan perantara beliau penulis bisa “memahami/mengenal” lebih jauh makna hakekat (sesungguhnya) ilmu tasawuf (ilmu ketauhidan).

Kyai Penitis DW menurut penulis, bukan saja sosok seorang guru ilmu tasawuf yang hanya bisa memberikan bimbingan atau ceramah-ceramah mengenai ilmu tasawuf, akan tetapi beliau adalah seorang Mursyid (guru) yang sudah mengenal Allah yang seperti diberitakan didalam ayat Suci Al-Qur’an, yaitu salah seorang hamba Allah yang telah Allah ajarkan ilmu dari sisi-Nya (QS.Al-Kahfi (18);65). Dan Insya Allah juga dengan seizin Allah SWT beliau (Kyai Penitis DW) bisa menuntun para murid-muridnya sampai kepada singgasana Allah sebelum mata berkedip (QS.An Naml (27);40).

Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami (QS.Al-Kahfi (18);65).

Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip." Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia” (QS.An Naml (27);40)

Dalam mempelajari ilmu tasawuf (ilmu ketauhidan), Penulis selain dari membaca buku/Article, browsing (baca) di internet dan diskusi dengan saudara-saudara seiman, penulis juga sering mengikuti bimbingan-bimbingan dan ceramah-ceramah kajian tasawuf di majelis-majelis ta’lim, yang terutama rutinnya yaitu mengikuti bimbingan kajian tasawuf di Institut Kajian Tasawuf Cahaya Perdana “Az Zukhruf” Jakarta, yang disampaikan langsung oleh guru (Kyai Penitis DW) dan oleh rekan-rekan penerus lainnya.

Demikian dengan ringkasnya riwayat penulis ini dibuat, salam bakti dan hormat penulis kepada guru (Kyai Penitis DW), yang telah membekali penulis dengan sesuatu yang sangat bermanfaat, mudah-mudahan beliau selalu didalam petunjuk dan lindungan-Nya, Amin yaa Robbal 'Alamin.

tak lupa ucapan terima kasih dan bakti penulis juga buat kedua orang tua penulis, Almarhum Bapak “Hanafiah Bin Mustopa”, Ibunda “Jumroh Binti Daharom”, kedua mertua penulis, Bapak Mertua “Hassan Bin Paimin”, Ibu Mertua “Nurhayati Binti Asik”, para orang tua yang selalu ikhlas dan tulus membimbing dan menyayangi kami para anak-anaknya disetiap waktu dan kesempatan.

“Ya Allah ampunilah dosa kami dan dosa kedua orang tua kami, tunjukilah kami jalan yang lurus, seperti jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan seperti jalan orang-orang yang dimurkai atau sesat”

Juga ucapan terima kasih dan sayang buat istri penulis tercinta “Agustry Nurwahyuni”, bidadari penyabar yang selalu menyayangi dan menemani penulis dan anak-anak penulis baik diwaktu senang maupun dikala susah.

Peluk kasih dan sayang juga buat dewa-dewi belahan jiwa, putra putri tercinta para penerus cita-cita, yaitu anak-anak penulis “Laudia Veriska”, “Marsha Nadira” dan “Gibans Pirlo”, semoga mereka menjadi anak-anak yang selalu didalam petunjuk dan lindungan-Nya, dan berguna dimanapun mereka berada, Amin yaa Robbal 'Alamin.


DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Pendahuluan
Akhir Perjalanan Umat Manusia
Ayat Muhkamaat & Ayat Mutasyaabihaat
Tingkatan Keyakinan Kepada Allah
Perlunya Mengenal Allah dengan pembuktian
Mengenal Manusia
Hubungan Kepada Allah
Allah Dapat Kita Temui
Perwujudan Allah Menurut Al-Qur’an & Agama Lain
Allah Dekat Dengan Hamba-Nya
Allah Meliputi Segala Sesuatu
Berbagai Pertanyaan Tauhid
Mencontoh Nabi Musa Menemui Allah
Mencontoh Murid-Murid Nabi Musa dan Ratu Bilqis Dalam Berguru
Cara Menerima Cahaya-Nya


KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis ucapkan, karena atas rahmat dan karunia-Nya segalanya bisa berjalan dengan sempurna. Sholawat dan salam kita curahkan kepada baginda junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, karena dengan risalah yang telah beliau sampaikan kita bisa menjalani hidup ini menjadi lebih indah dan lebih bermakna.

Rasa syukur bercampur bahagia juga yang penulis rasakan, karena insya Allah atas izin-Nya juga Article ini bisa terselesaikan. Dan tak lupa ucapan terima kasih yang mendalam, buat teman-teman serta rekan-rekan semua, atas motivasi serta partisipasinya sehingga Article ini bisa terselesaikan.

Dan perlu penulis informasikan juga, bahwa Article ini, memang sengaja ditulis dan dikemas dengan sesederhana mungkin (semungil mungkin), yang dengan tujuan agar Article ini lebih mudah untuk dibaca, dipahami, juga dilengkapi beberapa tanya jawab mengenai ketauhidan, yang insya Allah bisa menjadi salah satu jawaban dari rasa keingintahuan para Salik (pencari Allah) dalam pertualangannya untuk mengenal Sang Maha Perkasa, Tuhan Semesta Alam, Allah Azza Wajallah, Sang Penguasa Jagad Raya yang tiada tara.

Akan tetapi sebelumnya penulis mohon maaf, jika dalam penulisan, penyampaian serta tata kata yang terdapat didalam Article ini kurang sesuai dengan selera para pembaca. Karena penulis sadar, dengan keterbatasan pengetahuan serta sedikitnya wawasan keilmuan yang dimiliki dan diketahui oleh penulis, sehingga hal yang demikian bisa saja terjadi.

Dan kalau ada kebenaran sesungguhnya itu datangnya dari Allah SWT, juga sebaliknya jika ada kesalahan, itu semata-mata kekhilafan dan kesalahan dari penulis sebagai manusia yang tidak sempurna. Dan oleh karena itu mohon kiranya dimaafkan dan diberikan koreksinya.

Demikian kata pengantar ini dibuat, kritik dan saran dari para pembaca sekalian akan kami terima, yang tentunya akan kami jadikan sebagai bahan inputan (masukkan) untuk kesempurnaan Article-Article kami.


PENDAHULUAN

Latarbelakang penulisan Article ini, yaitu didapat dari hasil renungan dan pengajian rutin yang dilakukan penulis didalam mengkaji ilmu ketauhidan (ketuhanan). Dan karena terdorong rasa ingin berbagi, sharing dan diskusi kepada sesama, sehingga terinspirasi sebuah judul Article :

“Menjumpai Allah Semasa Hidup di Dunia”

Memang.!!!, mengenai ‘bisa atau tidaknya’ manusia menjumpai Allah, yang berkaitan juga dengan pemberian judul Article ini. Dari zaman dahulu hingga sekarang masih banyak perbedaan dan perdebatannya, dimana mengenai hal tersebut bila kita lihat di sejarah kalangan umat Islam, terdapat 3 (tiga) “golongan pendapat” yang berbeda :

1. Golongan pendapat yang menyatakan bahwa Allah tidak bisa dilihat (ditemui) oleh manusia, baik semasa manusia masih hidup didunia maupun setelah manusia meninggal dunia (mati) atau setelah di akhirat.

Untuk golongan orang-orang yang berpendapat seperti ini, yang bila kita coba berikan kelompok perwakilannya, yaitu kira-kira lebih diwakili oleh aliran Jahmiyah, yang dipimpin oleh Jahm bin Shofwan, dan aliran Mu’tazilah yang dipimpin oleh Washil bin Atho Al Bashri dan Amru bin Ubaid, yang diperkirakan hidup disekitar tahun 80 Hijriah.

Sedangkan dalil atau pedoman yang dipakai oleh para kelompok Mu’tazilah ini didalam memperkuat pendapatnya, yaitu lebih berdasarkan kepada pendapat bahwa, ‘mustahil’ (tidak mungkin) Allah bisa dicapai (dilihat) dengan penglihatan mata lahir (mata jasad/fisik) yang penuh dengan segala keterbatasannya.

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui. (QS.Al An'aam.(6):103).

2. Golongan pendapat yang menyatakan bahwa Allah bisa dilihat (ditemui) oleh manusia diakhirat saja, sedangkan sewaktu manusia masih hidup didunia, ‘mustahil’ (tidak mungkin) manusia bisa melihat/menemui Allah.

Dan untuk perwakilan golongan orang-orang yang berpendapat seperti ini, yaitu lebih diwakili oleh aliran Suni yang dipimpin oleh Abu Hasan. Sedangkan dalil atau pedoman yang dipakai oleh para kelompok/golongan ini didalam memperkuat pendapatnya, yang khususnya dikalangan para Jamaah Ahlus Sunnah Wal Jamaah, yaitu lebih berdasarkan kepada firman Allah dan Hadits Nabi :

Wajah-wajah (orang-orangmukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat. (QS.Al Qiyaamah.(75):22,23).

Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni syurga, mereka kekal di dalamnya. (QS.Yunus.(10):26).

Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari (rahmat) Tuhan mereka. (QS.Al Muthaffifin.(83):15).

Sesungguhnya orang-orang (para Sahabat) bertanya : Ya Rasullullah, apakah kita bisa melihat Tuhan kita di hari kiamat..? Maka Rasulullah menjawab : “Sulitkah kamu melihat bulan dimalam bulan purnama..? Para Sahabat menjawab :Tidak ya Rasulullah. Rasulullah berkata lagi : “Apakah kamu sulit melihat matahari diwaktu tanpa awan..?” Para sahabat menjawab :“Tidak Ya Rasulullah”. “Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhan seperti itu”. (HR Bukhari dari Abu Hurairah r.a.)

Saya telah mendengar Imam Syafi’I berkata : “Kami tahu tentang itu (melihat Tuhan) bahwa ada golongan yang tidak terdinding memandang kepada-Nya, mereka tidak bergerombol melihat-Nya”. ”Sesungguhnya kedudukan Jannah yang paling rendah ialah penghuni Jannah yang melihat Jannahnya, istrinya, pembantuhnya dan pelaminannya dari jarak perjalanan seribu tahun. Dan penghuni Jannah yang paling mulia diantara mereka ialah yang melihat Allah setiap pagi dan petang. Di hari itu penuh ceriah memandang Tuhan-Nya” (HR Turmudzi dari Syeikh Rabi r.a.)

3. Golongan pendapat yang menyatakan bahwa Allah “bisa dilihat” (ditemui) oleh manusia baik semasa manusia masih hidup didunia maupun setelah manusia meninggal dunia (mati/diakhirat), yaitu dengan penglihatan ”mata qolbu” atau “mata hati” atau dengan penglihatan ruh-Nya.

Perwakilan golongan orang-orang yang berpendapat seperti ini, yaitu lebih diwakili oleh para ‘Kaum Sufi’, sedangkan referensi atau pedoman yang dipakai oleh para kaum Sufi ini didalam memperkuat pendapatnya, yaitu lebih berdasarkan kepada firman Allah dan Hadits Nabi :

Sungguh telah rugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Tuhan: sehingga apabila kiamat datang kepada mereka dengan tiba-tiba, mereka berkata: "Alangkah besarnya penyesalan kami, terhadap kelalaian kami tentang kiamat itu!", sambil mereka memikul dosa-dosa di atas punggungnya. Ingatlah, amat buruklah apa yang mereka pikul itu. (QS.Al An’aam.(6):31)

Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar) (QS.Al Baqarah.(2):18)

Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar). (QS.Al Israa’ .(17):72)

Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat. (QS.Al Qiyaamah.(75):22,23).

Sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian seperti melihat sinar rembulan. Kalian tidak akan merasa ragu-ragu dalam melihat-Nya. Kemudian jika kalian mampu agar tidak dikalahkan oleh sholat sebelum terbitnya matahari dan sholat sebelum tenggelamnya matahari, maka lakukanlah (HR Bukhari).

Sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian dengan mata kepala (HR Bukhari).

Apakah engkau melihat Tuhanmu.? Cahaya sesungguhnya aku melihat-Nya (HR Bukhari).

Ketika para ahlul Jannah berada dalam kenikmatan, tiba-tiba muncullah Cahaya yang terang benderang, maka merekapun mendongakkan kepala-kepala mereka. Ternyata Cahaya itu adalah Allah yang sedang melihat mereka dari atas mereka, Allah berfirman : “As Salamu’alaikum, wahai ahlul Jannah”. Beliau melanjutkan “Itulah makna firman Allah : (Kepada mereka dikatakan): "Salam", sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang (QS. Yasin (36):58). Allah melihat para ahlul Jannah dan merekapun melihat-Nya. Maka mereka tidak mau menoleh kepada kenikmatan yang lain, hingga Allah menghilang dari pandangan mereka, namun barokah dari Cahaya Allah itu terus meliputi mereka di Jannah (HR Ibnu Majah)

Dan tentunya…!!!, dari kita melihat berbagai dalil atau pedoman yang dipakai oleh ketiga kelompok/golongan tersebut didalam memperkuat pendapatnya, sudah barang tentu semuanya mempunyai alasan dan prinsip tersendiri. Dan disini tentunya tinggal ‘terserah kita’ untuk memilih atau ikut pada golongan yang mana..? (mana tuan dan nyonya suka silakan saja karena itu adalah hak pribadi anda).

Maka untuk itu, agar kita tidak salah dalam memilih, dan sebagai salah satu guide (petunjuk) kita lihat terlebih dahulu keterangan/kutipan ayat-ayat Al-Qur’an berikut ini :

“Akan sangat merugilah orang-orang yang mendustakan Pertemuan mereka kepada Allah, dan apabila kiamat datang dengan tiba-tiba, maka mereka akan sangat menyesal terhadap semua kelalaiannya itu, sambil memikul dosa-dosa diatas punggung mereka, sungguh amat buruklah apa yang mereka dipikul itu”.

“Mereka yang tuli (tidak bisa mendengar perkataan Allah), bisu (tidak bisa berkomunikasi dengan Allah) dan buta (tidak bisa menyaksikan/melihat Allah) didunia, maka tidaklah mereka akan kembali kepada Allah diakhirat nanti”.

“Barangsiapa yang buta didunia ini, maka akan lebih buta lagi di akhirat”.

“Jika kita benar-benar ingin menemui-Nya maka pasti kita bisa menemui-Nya, dan jika kita lalai daripada-Nya (tidak mau menemui-Nya), maka sudah barang tentu azab-Nya atau peringatan yang nyata yang akan kita terima”

Dari melihat beberapa keterangan/kutipan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut diatas tadi, yang bila kita coba tarik benang merahnya (coba simpulkan), bahwa “pertemuan kepada Allah” tersebut haruslah kita lakukan sewaktu kita masih hidup didunia, dan bukan setelah kita meninggal dunia (setelah mati/diakhirat nanti). Karena, bila pertemuan kepada Allah tersebut belum bisa kita lakukan sewaktu kita masih hidup di dunia, maka tipislah harapan kita untuk bertemu (kembali) kepada Allah di akhirat nanti.

Dan selain itu, untuk lebih memperkuat tingkat keyakinan kita terhadap perihal pertemuan kepada Allah tersebut, berikut kita lihat firman-firman-Nya yang lainnya yang menjelaskan perihal pertemuan kepada-Nya tersebut :

Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya (QS.Al Insyiqaaq.(84):6)

Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).(QS.Az Zumar.(39):54)

Maka segeralah kembali kepada (mentaati) Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu. (QS.Adz Dzaariyaat.(51):50).

Demikianlah beberapa penjelasan dari firman-Nya yang menjelaskan perihal pertemuan kepada Allah. Dan tentunya, dari kita melihat berbagai penjelasan beberapa firman-Nya tersebut mungkin akan terbersit segudang pertanyaan dibenak kita, yang mungkin diantaranya :

Kalau memang benar Allah bisa kita lihat (temui) semasa kita masih hidup didunia, tentunya Wujud seperti apa yang Allah perkenankan untuk kita temui tersebut..?

Dan untuk menemui Allah yang dimaksudkan tersebut, tentunya juga kita harus mencari-Nya kemana, menggunakan apa dan bagaimana caranya...?, dan lain sebagainya….

Maka untuk itu, sebagai langkah awal untuk menjawab berbagai pertanyaan tersebut, rasanya akan sangat ditentukan sekali oleh DUIT (Doa, Usaha, Iman dan Takwa) kita kepada Allah. Karena insya Allah, dengan kita berbekal Doa, Usaha, Iman dan Takwa kepada Allah, maka Allah akan berkenan untuk kita temui, aamiin ya robbal'allamiin.


AKHIR PERJALANAN UMAT MANUSIA

…dan kamu menjadi tiga golongan. Yaitu golongan kanan. Alangkah mulianya golongan kanan itu. Dan golongan kiri. Alangkah sengsaranya golongan kiri itu. Dan orang-orang yang beriman paling dahulu, Mereka itulah yang didekatkan kepada Allah. (QS.Al Waaqi'ah (56):7-11)

Pada ayat (QS.Al Waaqi'ah (56):7-11) tersebut diatas dikatakan, bahwa pada hari kiamat (hari berbangkit atau hari dimana kita manusia dihidupkan kembali), kita (manusia) akan terbagi menjadi 3 (tiga) golongan (golongan kiri, golongan kanan dan golongan orang-orang terdahulu) :

1. Golongan kiri (golongan orang-orang yang sengsara).
Yaitu golongan para manusia yang Allah masukkan kedalam neraka, atau golongan orang-orang yang lebih berat timbangan dosa-dosanya (keburukannya) daripada timbangan pahalanya (kebaikannya).

Dan seperti yang difirmankan-Nya didalam (QS Al A'raaf (7);41), bahwa tempat tidur mereka (para penghuni neraka tersebut) terbuat dari api neraka yang sangat panas, yaitu sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka perbuat. Nauzubillah min zalik.

Demikianlah balasan terhadap musuh-musuh Allah, (yaitu) neraka; mereka mendapat tempat tinggal yang kekal di dalamnya sebagai balasan atas keingkaran mereka terhadap ayat-ayat Kami.(QS.Fushshilat (41);28)
Mereka mempunyai tikar tidur dari api neraka dan di atas mereka ada selimut (api neraka). Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang zalim,(QS Al A'raaf (7);41)

2. Golongan kanan (golongan orang yang dimuliakan Allah).
Yaitu golongan para manusia yang Allah masukkan kedalam Surga, atau golongan para orang-orang yang lebih baik timbangan amal ibadahnya (pahalanya) daripada timbangan dosa-dosanya (keburukannya).

Dan tiada kekhawatiran bagi mereka, juga tidaklah mereka bersedih hati, dan bagi mereka (para penghuni surga) disediakan buah-buahan dan sungai-sungai yang mengalir serta istri-istri yang suci dan cantik-cantik di dalamnya, yaitu sebagai imbalan terhadap apa yang telah mereka laksanakan atau perbuat. Allahu Akbar, Maha Suci Allah yang mengatur segala urusan.

Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(QS. Al Baqarah (2);62)

Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.(QS. Al Baqarah (2);25)

3. Golongan terdahulu (golongan orang-orang yang dekat kepada Allah). Yaitu golongan orang-orang yang beriman paling dahulu, atau golongan orang-orang yang bisa kembali kepada Allah. “Innalillahi waainna ilaihi rojiun” (berasal dari Allah dan kembali kepada Allah).

Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.(QS Al Israa' (17);57)

Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah.(QS Huud (11);75)

Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembah-nya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku,(QS Az Zumar (39);17).

Dilihat dari beberapa penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut diatas tadi, yang bila kita coba garis bawahi, bahwa ketiga golongan tersebut sesungguhnya adalah ending (batas akhir) dari segala usaha kita (manusia) didalam menjalankan perintah dan larangan Allah yang terdapat didalam agama (dalam berkehidupan sehari-hari). Yang tentunya, dari ke 3 (tiga) golongan tersebut yang bila diantaranya (salah satunya) dijadikan suatu pilihan (harus kita pilih), maka tentu yang akan menjadi target (tujuan) utama kita, yaitu menjadi kelompok atau golongan orang-orang yang beriman paling dahulu, atau menjadi manusia yang dekat kepada Allah dan bisa kembali kepada Allah “Innalillahi waainna ilaihi rojiun”. Atau seperti yang sering disebutkan dikalangan para kaum Sufi, yaitu : menjadi kelompok atau golongan orang-orang yang sudah Ma’rifatullah (telah mengenal Allah), atau telah memahami makna “Ilmu yang Bermanfaat”.

Menurut Guru besar Ilmu Tauhid (ketuhanan) ‘Iman Al-Ghazali’, bahwa keselamatan umat manusia (bisa kembali atau tidaknya manusia kepada Allah) akan sangat tergantung sekali kepada “Ilmu yang Bermanfaat”, “Amal Ibadah” dan “Doa Anak yang Sholeh”. Dimana penjelasan mengenai 3 (tiga) point menurut ‘Iman Al-Ghazali’ tersebut :

1. Ilmu yang Bermanfaat
Yaitu yang secara umum pengertian dari Ilmu yang bermanfaat tersebut adalah : ilmu (pengetahuan) yang diaplikasikan, disampaikan atau diberikan kepada orang lain dan ada manfaatnya maka itulah yang dinamakan dengan Ilmu yang bermanfaat. Akan tetapi, “ilmu yang bermanfaat” yang kita maksudkan disini yaitu : “Tingkatan Ilmu mengenal Allah yang sampai kepada Penyaksian Cahaya Allah (Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki)” (QS.An Nur. (24):35), yang penjelasannya akan kita bahas panjang lebar pada “TINGKATAN KEYAKINAN KEPADA ALLAH” dan “HUBUNGAN KEPADA ALLAH”.

Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS.An Nur.(24):35).

2. Amal Ibadah
Allah SWT menerangkan bahwa satu-satunya maksud dan tujuan Allah SWT menciptakan jin dan manusia di dunia ini hanyalah untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS.Al-Bayyinah(98);5). “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Dan tidak ada perubahan dalam fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS.Ar-Rum(31);30).

Dan selain itu dikatakan juga, bahwa Ibadah-ibadah kepada Allah disyariatkan sebagai tugas pokok hidup kita sebagai hamba Allah, juga fitrah manusia sejak dilahirkan adalah untuk bertauhid dan beriman kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya: “Dan (ingatlah) ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah juga mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi’. (Kami lakukan yang demikian itu) agar pada hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah)’.” (QS. Al-A’raf(7);172).

Yang tentunya, amal ibadah (ibadah-ibadah) yang disyareatkan Allah SWT sebagai tugas pokok hidup kita tersebut, yang jika hasil ritual pelaksanaannya belum bisa sampai kepada hakekat-Nya (sampai Mukhasyafah kepada Allah atau Ma’rifatullah), tentu hanya sebatas Pahala atau Surga saja yang kita (manusia) dapatkan. Atau kita (manusia) hanya masuk pada “golongan kanan” atau masuk pada golongan orang-orang yang dimuliakan Allah saja. Karena ketahuilah, bahwa sesungguhnya ending (batas akhir) dari semua pelaksanaan syareat agama tersebut, haruslah sampai kepada hakekat-Nya yaitu sampai kepada Allah SWT (kembali kepada Allah SWT).

Dan selain itu, Allah SWT juga menciptakan segala sesuatunya semua serba berpasang pasangan, seperti siang pasangannya adalah malam, pagi pasangannya adalah petang, hidup pasangannya adalah mati, surga pasangannya adalah neraka, dunia pasangannya adalah Akhirat, syareat pasangannya adalah hakekat. Yang artinya juga, bahwa ritual syareat agama yang kita laksanakan didalam beragama, sesungguhnya haruslah bisa sampai kepada hakekat-Nya, yaitu sampai kepada Allah SWT (Ma’rifatullah atau mengenal Allah SWT).

Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan (Ar Ra'd (13);3).

Dan dikatakan juga, bahwa firman-firman Allah yang terdapat didalam Al-Qur’an, semua pada dasarnya hanya mempunyai 2 (dua) sasaran makna saja, yaitu sasaran makna hubungan Horizontal (habluminannas) dan sasaran makna hubungan Vertikal (habluminallah) :

 Hubungan Horizontal (Habluminannas).
Yaitu hubungan antara manusia dengan sesama manusia dan hubungan antara manusia dengan alam semesta. Yang aturan tata cara hubungannya sudah ditata dengan sedemikian baiknya didalam aturan-aturan syareat agama, diantaranya :

Telah diwajibkan atas kamu wahai manusia (insan) untuk melaksanakan peritah Allah, seperti melaksanakan sodakoh jariah, infaq, zakat, qurban, dan lain sebagainya. Yang tentunya juga, dengan pelaksanaan ritual agama tersebut, tentu akan sangat berdampak baik sekali terhadap hubungan sosial didalam masyarakat kita. Seperti, bisa mengurangi kesenjangan sosial atau bisa memperbaiki hubungan sosial antar ummat didalam masyarakat kita.

 Hubungan Vertikal (Habluminallah).
Yang seperti telah dijelaskan di bagian atas tadi, bahwa segala sesuatunya pasti ada pasangannya (berpasang-pasangan). Dan berikut kita coba ambil contoh pasangan yang dimaksudkan-Nya tersebut yaitu pasangan yang dalam arti/makna yang mengarah kepada makna hakikatnya (sesungguhnya), misalnya :

Makna hakikat (sesungguhnya) dari zakat, qurban dan puasa menurut para kaum Sufi yaitu : “Bagi para Salik (pencari Allah) yang ingin berjumpa kepada Allah, maka diwajibkan atasnya untuk menzakatkan, mengurbankan dan mempuasakan dirinya (badan jasmani, jiwa/nafsu)” agar bisa bertemu kepada Allah. Karena, tidak mungkin seorang Salik (pencari Allah) akan bisa bertemu kepada Allah jika jiwa/nafsunya masih mendominasi dirinya.

Atau seperti contoh lain misalnya : didalam Al-Qur’an (Al-baqarah(2);223) difirmankan, bahwa kita (manusia) diperintahkan untuk mendatangi “istri-istri” kita sebagai tempat bercocok tanam dan dengan bagaimana (terserah) saja cara yang kita kehendaki atau inginkan agar kita (manusia) bisa bertemu kepada Allah.

Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. (QS.Albaqarah (2):223).

Yang tentunya, ayat-ayat Al-Qur’an tersebut disampaikan-Nya dengan ayat-ayat Mutasyaabihaat yang menggunakan bahasa perumpamaan atau kiasan-kiasan yang mempunyai arti atau makna yang tersirat (tersembunyi), yang mungkin jawabannya bisa kita dapatkan dari para Mursyid (guru) yang sudah sampai kepada Allah. Demikian juga halnya dengan pengertian atau makna dari firman Allah berikut ini :

Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada dilembah yang suci, Thuwa. (Thaahaa (20);12).

Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka), (An Nisaa' (4):66)

3. Doa Anak yang Sholeh
Yaitu doa dari seorang anak yang mempunyai ‘kualitas hubungan’ kepada Allah yang lebih baik. Atau doa dari seorang anak yang sudah memahami betul makna hakekat “ilmu yang bermanfaat”. Karena, dengan sianak tersebut telah memahami atau mengerti makna “ilmu yang bermanfaat”, maka dapat dipastikan doa-doa dari sianak tersebut akan benar-benar tertuju dan terarah kepada tempat dimana ia harus meminta atau memohon.

Selain itu, pengertian doa anak yang sholeh yang dimaksudkan tersebut, dapat juga kita artikan dengan doa dari orang-orang yang sholeh atau doa dari orang-orang alim yang mempunyai ‘kualitas hubungan’ kepada Allah yang lebih baik (orang-orang yang dekat dengan Allah).


AYAT MUHKAMAAT & AYAT MUTASYAABIHAAT

Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS. Asy Syuura.(42):51,52).

Petunjuk dari Allah tidaklah seperti petunjuk yang disampaikan atau diberitahukan dari sesama kita manusia, misalnya disampaikan dengan cara berbicara atau dengan cara berkomunikasi langsung. Akan tetapi, petunjuk dari Allah tersebut biasanya disampaikan-Nya dengan melalui perantara atau diberitahukan-Nya dengan dibalik tabir.

Dan selain itu juga dikatakan, bahwa kita (manusia) sebelumnya (sebelum diturunkan-Nya wahyu) tidaklah mengerti apa itu kitab suci dan keimanan, akan tetapi dengan perantara wahyu-Nya, maka kita (manusia) menjadi mengerti apa itu kitab suci dan keimanan.

Demikian juga halnya pemahaman kita terhadap rahasia-rahasia Allah yang lainnya. Karena tentu rahasia-rahasia Allah tersebut baru bisa kita mengerti atau kita pahami dengan benar apabila kita sudah diberitahukan-Nya dengan melalui perantara atau dengan wahyu-Nya.

Dan didalam (QS.Al’Imran (3);7) dijelaskan juga, bahwa firman-firman Allah yang terdapat didalam kitab suci (Al-Qur’an) semua pada dasarnya hanya terdiri dari ayat-ayat ‘Muhkamaat’ (ayat-ayat yang lurus) dan ayat-ayat ‘Mutasyaabihaat’ (ayat-ayat yang mempunyai beberapa makna, tersurat dan tersirat), yang penjelasannya :

Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal (Al’Imran (3);7).

1. Ayat-ayat Muhkamaat (pokok isi Al-Qur’an)
Yaitu ayat-ayat Al-Qur’an yang arti atau pengertiannya sudah tidak bisa lagi kita belokkan. Karena, isi (bunyi) dari ayat-ayat tersebut sesungguhnya sudah merupakan arti atau makna dari ayat itu sendiri, diantaranya :

”Aku memilihmu untuk diriKu”, ”Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki”, ”Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku”, dsb.

2. Ayat-ayat Mutasyaabihaat
Yaitu ayat-ayat yang terdapat didalam Al-Qur’an yang mempunyai beberapa arti, baik arti yang tersurat (tertulis) maupun arti yang tersirat (tersembunyi).

Dan seperti yang kita ketahui, bahwa didalam Al-Qur’an cukup banyak ayat-ayat Mutasyaabihaat (ayat-ayat yang mempunyai beberapa arti/makna) yang penyampaiannya menggunakan bahasa perumpamaan atau kiasan. Dimana kita terkadang kesulitan dan bingung didalam mengartikan maksud dan tujuan dari penjelasan yang disampaikannya. Belum lagi ditambah dengan ketidaktahuan kita terhadap hakikat (bentuk asli) dari perumpamaan atau kias yang dimaksudkan/disampaikannya tersebut, tentu akan sangat sulit bagi kita untuk memahaminya dengan benar.

Dan didalam firman-Nya (QS.Al’Imran (3);7) dikatakan, bahwa bagi orang-orang yang didalam hatinya lebih condong kepada kesesatan, tentu kecenderungan orang-orang tersebut akan mencoba menerka-nerka sendiri arti dari ayat-ayat Mutasyaabihaat tersebut, atau mencoba mencari-cari ta'wilnya (makna sebenarnya) sendiri, yang tanpa didasari pembuktian serta refferensi lainnya. Padahal dikatakan, tidak ada yang bisa mengetahui makna yang sebenarnya kecuali hanya dengan petunjuk-Nya.

Dan sebagai salah satu contoh firman Allah yang penyampaiannya menggunakan bahasa perumpamaan atau kiasan, maka berikut kita lihat firman-Nya :

Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar) (QS.Al Baqarah (2):18)

Yang tentunya, dari kita melihat pengertian atau uraian ayat Al-Qur’an tersebut diatas tadi (QS.Al Baqarah (2):18), mungkin dibenak kita berpikir atau berkesimpulan bahwa Allah itu sama seperti kita (manusia) yang mempunyai telinga, mulut dan mata. Tentu...!!! kesimpulan atau cara pikir kita yang seperti itu adalah kesimpulan atau cara pikir kita yang sangat-sangat keliru (salah besar), karena telah salah menyamakan Allah sama seperti kita (manusia) yang mempunyai telinga, mulut dan mata.

Dan sebagai salah satu jawaban yang menjelaskan arti/makna dari kata buta tersebut, berikut kita lihat penjelasan dari firman-Nya yang lainnya :

Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hatii yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (QS. Al Hajj (22):46)

Sesungguhnya yang buta itu bukanlah mata lahir (mata yang ada pada jasad/fisik). Akan tetapi, yang buta itu sesungguhnya adalah hati yang ada didalam dada.

Yang tentunya juga, pengertian dari hati yang dimaksudkan tersebut, bukanlah bentuk gumpalan daging merah yang terdapat didalam rongga dada kita (manusia), atau seperti lambang cinta (love) yang sering digambarkan oleh banyak orang. Akan tetapi, yang dimaksudkan dengan hati tersebut, sesungguhnya adalah “mata qolbu” atau seperti yang sering disebutkan oleh banyak orang yaitu dengan istilah/sebutan “mata hati” atau “hati nurani”.

Oleh karena itu, disinilah perlunya kita untuk belajar memahami pengertian bahasa-bahasa yang dalam penjelasannya menggunakan bahasa perumpamaan atau kiasan. Karena dengan kita terbiasa memahami bahasa yang penjelasannya menggunakan perumpamaan atau kiasan, maka kita juga bisa lebih mudah untuk memahami makna ayat yang arti atau pengertiannya lebih mendekati kepada makna yang sebenarnya/sesungguhnya.

Dan selanjutnya, kembali kita kepada pembahasan arti/makna dari bahasa perumpamaan atau kiasan. Bahwa, yang dimaksud dengan perumpamaan atau kiasan dalam penjelasan kita disini ini adalah : ‘Perumpamaan atau kiasan yang dicontohkan untuk menjelaskan sesuatu yang lainnya’. Dimana biasanya yang dicontohkannya tersebut kadang cenderung agak lebih mirip atau mendekati kesamaannya dengan apa yang dijelaskannya. Akan tetapi, perumpamaan atau kiasan yang dicontohkannya tersebut sesungguhnya bukanlah hakikat (bentuk asli) dari apa yang dijelaskannya (hanya serupa tetapi tidak sama).

Dan selanjutnya juga, mungkin agak sedikit keluar dari pembahasan kita tentang ayat-ayat ‘Muhkamaat’ dan ayat-ayat ‘Mutasyaabihaat’. Dan untuk lebih memperluas wawasan kita terhadap pemahaman isi kandungan ayat-ayat suci Al-Qur’an, berikut kita simak juga pengertian dan uraian-uraian dari ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat ‘informasi’, ‘perintah’ dan ‘larangan’ berikut ini.

1. Ayat-ayat yang bersifat Informasi
Yaitu ayat-ayat yang ada didalam Al-Qur’an yang lebih bersifat Informasi (Ilmu), atau lebih merupakan suatu pemberitahuan, diantaranya seperti :

Yaa siin (hai Insan) Demi Al-Qur’an yang penuh hikmah, Sesungguhnya kamu salah seorang dari rasul-rasul, (QS.Yaasiin (36):1,2,3), dll.

2. Ayat-ayat yang bersifat Perintah
Yaitu ayat-ayat yang ada didalam Al-Qur’an yang lebih bersifat perintah atau seruan agar dilaksanakan, misalnya yang bersifat :

Wajib -> yaitu apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala atau imbalan, dan bila tidak dikerjakan maka akan mendapatkan dosa.

Sunnah -> yaitu apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala atau imbalan, dan bila tidak dikerjakan tidak berdosa.

Dan sebagai salah satu contoh dari ayat-ayat yang bersifat perintah yang terdapat didalam Al-Qur’an :

Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. (QS.Al Israa.(17):79),dll.

3. Ayat-ayat yang bersifat Larangan
Yaitu ayat-ayat yang terdapat didalam Al-Qur’an yang bersifat larangan atau seruan agar dijauhkan :

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS.Luqman (31):18), dll

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu (QS. An Nisaa' (4);29)


TINGKATAN KEYAKINAN KEPADA ALLAH

Seseorang meyakini keberadaan Allah, akan sangat terkait sekali terhadap informasi, Ilmu, Ap’al (Ciptaan), Shifat (Sifat) dan Dzat (Wujud). Yang jika kita pilah-pilah atau kita coba kelompokkan, maka tingkatan keyakinan seseorang tersebut terdiri dari empat tingkatan keyakinan : “Wajibul-Yakin”, “Ainul-Yakin”, “Haqqul-Yakin” dan “Isbatul-Yakin”.

1. Wajibul-Yakin
Yaitu keyakinan seseorang terhadap keberadaan Allah yang bersumber dari Informasi, misalnya informasi dari membaca kitab-kitab suci seperti (Al-Qur’an, Taurat, Injil dan Zabur dan lain-lain). Atau informasi dari mendengar ceramah-ceramah atau mendengar radio, nonton televisi, melihat di internet, dan lain sebagainya.

2. Ainul-Yakin
Yaitu Keyakinan seseorang terhadap keberadaan Allah karena ilmu, Ap’al (Ciptaan) dan Shifat (Sifat-Nya).

Dan sebagai contoh karena Ap’al (ciptaan-Nya) misalnya, dengan melihat gunung maka seseorang akan menjadi yakin terhadap keberadaan Allah. Karena dengan melihat gunung tersebut membuat logika akal orang tersebut menjadi berpikir bahwa tidak mungkin gunung tersebut ada kalau tidak ada yang menciptakannya. Demikian juga halnya dengan orang tersebut melihat ciptaan-ciptaan-Nya yang lainnya, seperti melihat lautan, melihat flora dan fauna, melihat keajaiban-keajaiban alam, dan yang lain sebagainya, maka tentu besar kemungkinan orang tersebut akan berkeyakinan bahwa Allah itu pasti ada-Nya karena keberadaan ciptaan-ciptaan-Nya tersebut.

Dan sebagai contoh karena Shifat (Sifat-Nya) misalnya, seseorang akan yakin terhadap keberadaan Allah karena dari mempelajari sifat-sifat Allah, misalnya dari mempelajari Sifat 20 atau mempelajari sifat-sifat Allah yang lainnya yang serba Maha dan sangat tidak terbatas.

3. Haqqul-Yakin
Yaitu keyakinan seseorang terhadap keberadaan Allah karena orang tersebut telah dibimbing/diberi petunjuk oleh Allah kepada Cahaya-Nya (QS.An_Nur.(24):35), atau seperti yang disebutkan dibagian awal Article ini, yaitu mereka atau orang-orang yang sudah mengerti dan memahami makna hakikat dari “Ilmu yang bermanfaat”.

4. Isbatul-Yakin
Keyakinan seseorang terhadap keberadaan Allah karena orang tersebut telah meyakini-Nya dengan “Wajibul-Yakin”, “Ainul-Yakin” dan “Haqqul-Yakin”. Yang kemudian orang tersebut menjadi benar-benar yakin (sangat meyakini-Nya) yang hingga pada akhirnya orang tersebut sampai pada tingkat keyakinan yang tidak akan tergoyahkan lagi, atau sampai pada tingkat keyakinan yang mutlak karena orang tersebut telah mengisbatkan Allah.

Dan sebagai contoh lainnya yang mungkin lebih mendekati makna tingkatan keyakinan seseorang, kita coba lihat juga beberapa informasi atau cerita berikut ini :

Tatkala Laudia menginformasikan kepada Marsha bahwa rasa madu itu adalah manis, maka informasi dari Laudia kepada Marsha tersebut menjadikan Marsha terpaksa meyakini bahwa rasa madu itu adalah manis. Sehingga dengan informasi itu membuat tingkatan keyakinan Marsha terhadap rasa madu tersebut berada pada tingkatan keyakinan ‘Wajibul-Yakin’.

Karena sebelumnya Marsha pernah mencicipi gula, maka Marsha menjadi merasa-rasa (mengira-ngira) bahwa rasa manisnya madu yang diberitahukan Laudia kepadanya itu sama seperti rasa manisnya gula yang pernah ia rasakan sebelumnya. Sehingga dengan rasa yang kira-kira tersebut membuat tingkatan keyakinan Marsha terhadap rasa madu tersebut berada pada tingkatan keyakinan ‘Ainul-Yakin’.

Kemudian Marsha mencoba mencicipi madu, sehingga dengan mencicipi madu tersebut membuat Marsha menjadi mengetahui atau tahu persis bagaimana rasanya madu yang diceritakan Laudia kepadanya itu. Dengan demikian membuat tingkatan keyakinan Marsha terhadap rasa madu tersebut berada pada tingkatan keyakinan ‘Haqqul-Yakin’.

Informasi yang didapatkan Marsha dari Laudia bahwa rasa madu itu adalah manis, yang kemudian dilanjutkan oleh Marsha dengan mencicipi madu, sehingga menbuat Marsha menjadi tahu persis bagaimana rasanya madu yang diceritakan Laudia kepadanya itu. Dan Marsha menjadi sangat meyakini rasa madu tersebut, sehingga tingkatan keyakinan Marsha terhadap rasa madu tersebut sampai pada tingkatan keyakinan yang mutlak yang tidak tergoyahkan lagi, atau sampai pada tingkatan keyakinan ‘Isbatul-Yakin’.

Dan sebagai gambaran lain juga dari tingkatan keyakinan seseorang, kita coba lihat juga contoh cerita berikut ini :

Sekembalinya teman saya dari Bali, teman saya bercerita kepada saya bahwa pantai Sanur Bali itu sangatlah indah dan mempesona. Sehingga pada kondisi seperti itu membuat tingkatan keyakinan saya terhadap pantai Sanur Bali tersebut berada pada tingkatan keyakinan ‘Wajibul Yakin’.

Kemudian saya melihat pantai lain, yaitu melihat pantai Pangandaran yang tak kalah indahnya. Sehingga dengan saya melihat pantai Pangandaran tersebut membuat saya menjadi membayangkan keindahan pantai Sanur Bali yang diceritakan oleh teman saya sebelumnya yang mungkin sama seperti indahnya pantai pangandaran yang sedang saya lihat/kunjungi tersebut. Sehingga, pada kondisi seperti itu membuat tingkatan keyakinan saya terhadap pantai Sanur Bali tersebut berada pada tingkatan keyakinan ‘Ainul Yakin’.

Kemudian pada saat saya nonton televisi, tiba-tiba ada tayangan di televisi yang menyiarkan tentang indahnya pantai Sanur Bali. Sehingga dengan tontonan di televisi tersebut membuat saya menjadi “mengetahui” bagaimana pantai Sanur Bali yang indah dan mempesona yang diceritakan oleh teman saya sebelumnya. Sehingga pada kondisi seperti itu, membuat tingkatan keyakinan saya terhadap pantai Sanur Bali tersebut berada pada tingkatan keyakinan ‘Haqqul Yakin’.

Dan disuatu waktu pergilah saya ke Bali, yang tentunya mengunjungi pantai Sanur Bali yang selama ini telah saya impikan itu. Dan tentu perasaan saya sangat senang sekali, karena sesuatu yang selama ini telah saya idam-idamkan (impikan) dapat tersampaikan (terkunjungi). Dan karena saya pernah mengunjunginya sendiri (melihat pantai Sanur Bali tersebut dengan mata kepala saya sendiri), maka sudah barang tentu saya “sangat menyakini” kebenaran cerita teman saya tentang keindahan pantai Sanur Bali yang indah dan mempesona tersebut. Yang hingga pada akhirnya membuat tingkatan keyakinan saya terhadap pantai Sanur Bali tersebut berada pada tingkatan keyakinan ‘Isbatul Yakin’.

Demikianlah kira-kira beberapa contoh cerita yang menggambarkan tingkatan keyakinan seseorang. Dan karena pernah mengunjunginya sendiri (melihatnya dengan mata kepala sendiri), maka sudah barang tentu semuanya akan terekam dan tersimpan di memory otak kita (saya). Dan tentunya juga, bila hal tersebut (sesuatu yang pernah kita kunjungi tersebut) diceritakan kembali, maka sudah barang tentu kita akan terbayang dan teringat kembali walaupun tidak secara keseluruhannya (sampai mendetail).

Demikian juga hal-nya kita didalam ”mengingat Allah”. Karena.!!!, ‘bagaimana mungkin’ kita bisa/mampu mengingat Allah dengan benar dan lebih terarah, bila hadirat-Nya belum pernah kita kunjungi (temui/lihat). Dan yang ada, mungkin kita hanya akan mengingat-Nya dengan mengira-gira saja dan tanpa ada kepastian, “Na’uzubillahi min zalik”.

Dan ketahuilah wahai saudaraku…!!!, bahwa ingatan kepada Allah yang ‘tanpa kepastian’ bisa menggiring kita kepada ‘syirik’ atau ‘kesalahan dalam penyembahan kepada Allah’, yang tentunya hal tersebut suatu perbuatan yang sangat berbahaya dan sangat dilarang oleh Allah.

Memang ada sabda Rasulullah SAW yang mengatakan bahwa, sembahlah Allah seakan-akan kita melihat Allah, dan andai kata kita tidak bisa (belum bisa) melihat Allah, maka percayalah bahwa sesungguhnya Allah melihat kita.

“Ihsan itu ialah, engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Andai kata anda tidak dapat melihat-Nya, namun Allah tetap melihat Anda” (Al-Hadits).

Akan tetapi dalam hal ini, kita tentunya sebagai seorang yang sedang berjalan mencari Allah (Salik), rasanya agak terlalu pesimis jika kita hanya puas dengan cara yang seakan-akan (seolah-olah) tersebut saja. Dan tidak ada salahnya bila kita mau mencari Allah dengan suatu kepastian. Dan janganlah kita menjadi orang yang terlalu cepat berpuas diri, sehingga kita membatasi diri dan menjadi gontai (berjalan santai) atau hanya berjalan ditempat saja tanpa mau berusaha melangkah lebih jauh lagi untuk mencari-Nya.

Kata seakan-akan (seolah-olah) dalam hadits tersebut, kiranya lebih kepada makna keragu-raguan. Apalagi keragu-raguan dalam berhubungan kepada Allah, sungguh sesuatu yang harus benar-benar kita pikirkan sebelum terlambat.

Nabi Muhammad SAW dikenal manusia yang paling bijaksana, dan beliau juga memahami betul berbagai tingkat kualitas keimanan yang dimiliki (dipahami) oleh umat-umatnya. Dan disini mungkin yang dimaksudkan dari kata seakan-akan (seolah-olah) melihat Allah tersebut, hanya diperuntukkan kepada umat-umatnya yang ‘sudah tidak bisa lagi’ untuk mencapai pertemuan kepada Allah.

Jadi saudaraku.., cobalah kita agak sedikit lebih kreatif. Dan janganlah kita hanya puas dan terpaku kepada salah satu hadits saja, karena selain hadits nabi tersebut, cukup banyak juga hadits-hadits Nabi yang lainnya yang belum tersingkap (tersembunyi) atau yang tidak populer dan tidak dipublikasikan secara terang-terangan kepada khalayak umum. Karena sesungguhnya cukup banyak ayat-ayat yang terdapat didalam Al-Qur’an yang lebih menguatkan agar kita mau berusaha melakukan pertemuan kepada Allah tersebut :

“Janganlah engkau berikan ilmu ini kepada yang tidak membutuhkan, karena itu adalah perbuatan zhalim. Tetapi jangan engkau tidak berikan ilmu ini kepada yang membutuhkan, karena itu juga perbuatan zhalim”(Al-Hadits).

“Aku hafal dua karung (kitab) hadits dari Rasulullah SAW. Yang satu karung (kitab) sudah aku siarkan kepada kalian semua. Sedangkan yang satu lagi kalau aku siarkan, niscaya dipotong orang leherku” (HR Bukhari diriwayatkan oleh Abu Hurairah)

Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya (QS. Al Insyiqaaq (84):6)

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al 'Ankabuut (29):45)

Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi. (QS. Al Munaafiquun (63):9)

Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah golongan syaitan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan syaitan itulah golongan yang merugi. (Al Mujaadilah (58):19)

Oleh karena itu, maka melalui Article ini, penulis mengajak kepada teman-teman para pembaca sekalian, khususnya diri pribadi penulis, mari kita secara bersama-sama berusaha setekun-tekunnya dan konsisten untuk mencapai pertemuan kepada Allah. Janganlah kita membatasi diri, atau mungkin sampai kita berkesimpulan bahwa mustahil (tidak mungkin) kita bisa bertemu kepada Allah, atau pertemuan kepada Allah tersebut tidak mungkin bisa dilakukan oleh orang-orang seperti kita, atau pertemuan kepada Allah tersebut hanya untuk kalangan orang-orang tertentu saja.

Tentu bagi Allah tidak ada yang tidak mungkin, kerena Allah Maha Mendengar, Allah Maha Mengetahui, Allah Maha Mengabulkan Permohonan hamba-Nya, dan Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dan juga janji Allah sesungguhnya pasti adanya, karena janji Allah bukanlah omong kosong seperti halnya banyak diantara janji-janji para manusia-manusia pembual (pembohong) yang kerap kita dengar dilingkungan sekitar kita atau diberbagai media.

Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu, pasti datang. Dan Dialah Yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS.Al Ankabuut.(29):5)

Dan pertemuan kepada Allah tidak dilarang oleh Allah, bahkan sebaliknya, Allah memerintahkan kepada kita agar berusaha setekun-tekunnya untuk menemui-Nya maka pasti kita akan menemui-Nya. Yang tentunya juga, pertemuan kepada Allah yang dimaksudkan tersebut tidaklah sama seperti pertemuan kita dengan sesama kita (manusia), karena Allah berbeda dengan ciptaan-Nya ‘Laisa kamistlihi syai’un’.

Oleh karena itu, karena Allah ‘Laisa kamistlihi syai’un’ (Allah berbeda dengan ciptaan-Nya), tentu sangat sulit sekali untuk menjelaskan tentang Allah tersebut, dan juga wajar Nabi Muhammad SAW menganjurkan agar kita menemui-Nya terlebih dahulu sebelum mulai beragama “Awaluddini Maqrifatullah” (Awal beragama mengenal Allah). Karena, dengan kita telah bertemu kepada-Nya terlebih dahulu maka ritual ibadah, penyembahan serta ingatan kita kepada Allah menjadi benar-benar terarah dan tertuju hanya kepada-Nya, Allah Azza Wajallah, dan tidak dikira-kira saja. Kerena ketahuilah.., bahwa sebutan atau tulisan nama-nama Allah sesungguhnya hanya baru sebatas gambaran-Nya saja dan bukan Dia yang sesungguhnya, karena Dia (Allah) berbeda dengan tulisan atau berbeda dengan nama-nama tersebut.


PERLUNYA MENGENAL ALLAH DENGAN PEMBUKTIAN

Seperti yang telah disebutkan dibagian awal Article ini, bahwa seringkali kita mendengar atau mendapatkan penjelasan yang hanya dijelaskan dengan perumpamaan atau kiasan-kiasan saja. Apalagi penjelasan tentang Allah, tentu akan sangat sulit untuk dijelaskan atau diuraikan.

Memang..!!!, seperti itulah kita (manusia) dengan segala keterbatasannya. Dan kita (manusia) hanya diberikan sedikit pengetahuan (ilmu) tentang hal tersebut, yang itupun juga hanya sebatas dan terbatas kepada para hamba-hamba-Nya yang Allah kehendaki dan tunjukkan juga.

Oleh karena itu, maka penjelasan atau uraian tentang Allah SWT tersebut, kiranya hanya bisa kita jelaskan dengan cara berilustrasi saja, yang penjelasan-Nya jika kita coba jelaskan dengan cara berilustrasi, mungkin tak ubahnya seperti penjelasan kita didalam menjelaskan tentang “Rasa”. Dimana didalam penjelasan tentang rasa tersebut, paling-paling kita (manusia) hanya bisa atau mampu menjelaskannya dengan cara berilustrasi menggunakan perumpamaan-perumpamaan atau kiasan-kiasan yang agak mendekati saja (mirip, seperti, misalnya, seumpama dan lain sebagainya).

Dan disini tentunya sebagai orang yang dijelaskan (orang yang menerima penjelasan), tentu baru akan mengerti maksud atau tujuan dari apa yang kita jelaskan, apabila orang tersebut telah benar-benar merasakannya sendiri atau orang tersebut telah benar-benar mencicipinya sendiri.

Atau sebagai contoh misalnya : saat kita menjelaskan bagaimana rasanya air sirup kepada orang lain, maka sudah barang tentu orang yang kita jelaskan tersebut baru akan mengerti dan paham bagaimana rasanya air sirup yang kita maksudkan tersebut, apabila orang tersebut sudah pernah meminum atau mencicipi air sirup (orang tersebut sudah membuktikannya secara langsung).

Demikian juga halnya kita dalam memahami penjelasan tentang Allah. Karena, tentu kita baru akan mengerti maksud penjelasan tentang Allah tersebut dengan sebenar-benarnya, apabila kita sendiri sudah pernah menyaksikan atau bertemu kepada Allah secara langsung (Haqqul/Isbatul yakin).

Dan bila ingin mencontoh Nabi Muhammad SAW dalam beragama, seperti dinyatakan beliau didalam sabdanya :

Awaluddini Maqrifatullah (Awal beragama mengenal Allah).

Dari penjelasan sabda Nabi tersebut, sungguh betapa pentingnya pembuktian pertemuan kepada Allah terlebih dahulu sebelum mulai beragama. Dan pasti ada alasannya kenapa Nabi Muhammad SAW menyatakan hal yang demikian. Dan sebagai pendapat awam.., mungkin boleh jadi yang dimaksud sabda Nabi Muhammad SAW tersebut adalah agar kita tidak gampang tersesat didalam memahami dan menjalankan perintah dan larangan Allah yang terdapat didalam agama. Karena, dengan kita telah Ma’rifatullah (mengenal Allah) terlebih dahulu, maka kita akan tahu (mengerti) apa maksud dan tujuan yang sesungguhnya dari ritual peribadatan yang diajarkan didalam agama tersebut. Sehingga, kita tidak hanya menjalankan agama karena hanya ikut-ikutan saja, atau hanya ikut agama yang dianut oleh orang tua atau nenek moyang kita saja, akan tetapi kita juga sudah benar-benar mengerti dan paham terhadap apa yang kita lakukan/laksanakan didalam beragama tersebut.

Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" (QS.Al Baqarah (2);170).

Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama] dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).(QS. Asy Syuura(42);13)

Karena seperti yang kita ketahui, bahwa cukup banyak orang yang memeluk agama yang dianutnya karena hanya ikut agama yang dianut oleh orang tuanya. Karena, seperti yang kita lihat di zaman sekarang ini, cukup banyak para orang tua yang sudah menanamkan nilai-nilai agama yang dianutnya kepada para anak-anaknya sedini mungkin (di usia dini). Sehingga anaknya (kita) kadang sadar atau tidak menjadi menganut agama yang dianut orang tua kita (orang tuanya).

Sebagai contoh misalnya : orang yang orang tuanya memeluk agama Kristen maka kemungkinan besar anaknya menjadi memeluk agama Kristen, atau orang yang orang tuanya memeluk agama Khatolik maka anaknya juga kemungkinan besar akan memeluk agama Khatolik, atau orang yang orang tuanya memeluk agama Budha maka anaknya menjadi memeluk agama Budha, atau orang yang orang tuanya memeluk agama Islam maka anaknya menjadi memeluk agama Islam, dan seterusnya dan seterusnya... Dan kemudian, setelah akhir baliq (menginjak dewasa), dengan akal dan kehendak merdeka-nya, mungkin barulah sianak tersebut bisa mencermati kembali agama yang dianutnya sejak kecil.

Tetapi sayang seribu sayang…!!!, kadang kebanyakan dari kita hanya puas dengan apa yang kita terima saja, dan terkadang juga kita menjadi egois (mau menang sendiri) dan fanatik buta, yang terkadang juga menjadi sering mengkafirkan orang lain yang tidak sependapat/sepaham dengan kita.

Akan tetapi, bila kita coba kaji lebih dalam, bahwa kata ‘kafir’ tersebut, sesungguhnya adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Arab yaitu ‘kufur’ yang artinya ‘tertutup’, dan antonimnya adalah ‘syakir’ yang berarti ‘terbuka’. Sehingga dengan demikian, arti/makna hakekat yang dimaksud dengan kata kafir (orang kafir) tersebut sesungguhnya adalah orang yang tertutup atau buta ‘mata qalbunya’ dari melihat kebenaran alias tidak mengenal Allah, maka oleh karena itu orang yang kafir atau orang yang tertutup dari melihat kebenaran (tidak mengenal Allah) tersebut, haruslah “diperangi” atau “dibunuh” (dima’rifatkan kepada Allah) agar orang tersebut bisa mengenal Allah.

Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa. (QS. At Taubah(9):123).


MENGENAL MANUSIA

Berbicara mengenai manusia, terdapat berbagai pendapat mengenai manusia tersebut. Yang secara garis besar berbagai pendapat mengenai manusia tersebut, kebanyakan hanya membedakannya dari yang lahir dan yang bathinnya saja (yang terlihat dan yang tidak terlihatnya saja).

Dan pada pembahasan kita yang terdapat pada Article ini, bahwa manusia tersebut yaitu terdiri dari 3 (tiga) ‘sosok’, yaitu Jasad, Jiwa dan Ruh, mudah-mudahan anda termasuk orang-orang yang sependapat dengan pendapat tersebut.

Dan untuk lebih jelasnya, kita lihat penjelasan mengenai Jasad, Jiwa dan Ruh tersebut berikut ini :

1. Jasad (Jasmani/Badan/Raga)
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. (QS.Al Mu’minuun (23):12,13,14)

Jasad (Jasmani/Badan/Raga) yaitu Jasad lahir yang diciptakan Allah dengan urutan proses kejadian yaitu mulai dari saripati tanah, yang kemudian menjadi air mani, dan kemudian menjadi segumpal darah, lalu menjadi segumpal daging hingga berbentuk Jasad. Dan kemudian pada proses selanjutnya setelah meninggal dunia (berpisah Jasad dengan Ruh alias mati), maka melalui proses alam atau melalui proses biologis, Jasad tersebut akan kembali lagi kepada unsur awalnya yaitu menjadi saripati tanah, yang kemudian akan dihisap kembali oleh tanaman-tanaman yang lain sebagai pupuk penyubur. Dan kemudian, pada proses selanjutnya tanaman-tanaman tersebut mungkin akan dimakan atau termakan kembali oleh jasad-jasad yang lainnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Dan selain itu, mungkin ada juga yang melalui ragam proses sunnatullah yang lainnya, yang misalnya dimakan ikan, dimakan binatang buas atau mungkin juga dimakan oleh sesama manusia itu sendiri (kanibalisme), sebelum ia kembali menjadi saripati tanah.

2. Ruh (Rohani)
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati: (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (QS. As Sajdah (32):9)

Ruh (Rohani) yaitu roh-Nya atau Rohani yang ditiupkan Allah kedalam Jasad/Jasmani sewaktu Jasad/Jasmani masih berada didalam rahim atau kandungan.

Dan mengenai pemahaman tentang Ruh/Rohani, saat ini masih cukup banyak ragam dan perbedaannya, terutama dalam hal penafsirannya. Dimana ada yang mengatakan bahwa Ruh adalah Dzat turunan Allah, dan ada juga yang mengatakan bahwa Ruh tersebut adalah sifatnya Allah yang ditularkan Allah kepada manusia, dan ada juga yang mengatakan bahwa Ruh tersebut adalah Jiwa (Nafsu), dan ada juga yang mengatakan Ruh tersebut adalah bagian dari Allah dan lain sebagainya, dan lain sebagainya.

Dan untuk lebih jelasnya kita lihat 20 sifat Allah (sifat 20) yang Allah percayakan kepada kita (manusia) berikut ini :

1. Wujud Ada wujudnya.
2. Qidam Lebih dahulu adanya, tiada yg mendahuluinya
3. Baqaa Kekal adanya tiada akhir.
4. Muhalafalil hawaaditsh Serba beda dengan yang serba baru.
5. Qiyamu binafsihi Bangun dengan Dzatnya sendiri.
6. Wahdaniyah Adanya hanya satu.
7. Qudrat Kuasa.
8. Iradat Kehendak/karep.
9. Ilmu Pengetahuan.
10. Hayat Hidup.
11. Sama’ Mendengar.
12. Bashar Melihat.
13. Qalam Bicara.
14. Qadiran Yang Maha Kuasa.
15. Muridan Yang Maha berkehendak.
16. Alimun Yang Maha mempunyai pengetahuan.
17. Hayyun Yang Maha Hidup.
18. Sami’an Yang Maha Mendengar.
19. Bashiran Yang Maha Melihat.
20. Mutakalliman Yang Maha Berbicara.

Dan dari melihat 20 (dua puluh) sifat yang Allah percayakan kepada manusia tersebut, seperti terlihat pada tabel diatas, tentu membuat kita punya kesimpulan tersendiri tentang Ruh/roh-Nya/Rohani tersebut.

Yang misalnya, dengan melihat sifat Qidam yang berarti lebih dahulu adanya, atau sifat Baqaa yang berarti kekal adanya dan tiada akhir, atau sifat-sifat-Nya yang lain yaitu seperti sifat Muhalafalil hawaaditsh yang berarti serba beda dengan yang serba baru, Qiyamu binafsihi yang berarti bangun dengan Dzatnya sendiri, Wahdaniyah yang berarti adanya hanya satu, dan lain sebagainya.

Dan seperti yang kita pahami juga, bahwa sifat-sifat Allah tersebut tentu tidak ada batasnya (tidak terbatas/tak terhingga). Kerena, Dia-lah sumber dari sifat itu sendiri dan Dia (Allah) Maha segala-galanya. Dan selain itu, pemahaman mayoritas juga bahwa Jasad akan mati (tidak kekal) dan akan kembali kepada unsur asalnya yaitu menjadi saripati tanah, sedangkan Ruh/Rohani akan tetap hidup kekal selama-lamanya “Innalillahi waainna ilaihi rojiun” (Ruh berasal dari Allah dan kembali kepada Allah).

Sehingga..!!!, atas dasar pemahaman tersebut juga penulis dalam hal ini menjadi berkesimpulan (berpendapat) bahwa Ruh (ruh-Nya/Rohani) adalah merupakan “bagian dari Allah”, dan akan kembali kepada Allah, sedangkan Jasad (Jasmani) akan mati (tidak kekal) dan akan kembali kepada unsur asalnya yaitu menjadi saripati tanah.

Akan tetapi, pengertian bagian dari Allah yang dimaksudkan tersebut bukan berarti bahwa Ruh (roh-Nya) yang Allah percayakan kepada manusia tersebut adalah Allah secara utuh dengan segala kebesaran-Nya. Karena, boleh jadi jika kita berkesimpulan sama seperti itu, kita juga menjadi terjebak berkesimpulan bahwa Allah jamak (banyak) kerena ada pada setiap manusia. Oleh karena itu, kesimpulan dan cara pikir kita yang seperti itu haruslah kita luruskan. Karena, dengan Maha besarnya Allah, dan Maha Meliputinya Allah, maka sudah barang tentu semua yang ada didalam jagad raya (alam semesta) ini termasuk juga kita (manusia), semuanya diliputi oleh Allah dan sudah merupakan bagian dari Allah yang tidak terpisahkan.

Dengan demikian maka pengertian bagian dari Allah yang dimaksudkan disini, yang jika kita coba jelaskan dengan cara berilustrasi dengan perumpamaan, mungkin tak ubahnya seperti kita memahami pengertian organ tubuh kita, seperti : tangan, kaki atau organ-organ tubuh kita yang lainnya. Dimana tentu kita tidak bisa mengatakan bahwa tangan atau kaki atau organ-organ tubuh kita yang lainnya tersebut adalah manusia secara utuh. Karena, tangan atau kaki atau organ-organ tubuh kita tersebut sesungguhnya hanyalah ‘merupakan bagian’ dari yang namanya manusia itu sendiri (hanya merupakan bagian) dan tidak bisa kita katakan namanya adalah manusia.

Demikian juga sebaliknya, bila kita berbicara yang namanya manusia. maka sudah barang tentu manusia yang kita maksudkan tersebut yaitu tersusun atau terdiri dari organ-organ tubuh penyusunnya, yaitu seperti : kaki, tangan, kepala, leher, perut, pinggul, dan yang lainnya.

Atau mungkin, sama juga seperti kita dalam menyebutkan yang namanya mobil. Karena, tentu kita tidak bisa mengatakan bahwa mesin, ban, spion atau stir tersebut adalah mobil. Karena, bila kita akan menyebutkan yang namanya mobil, maka sudah barang tentu juga termasuk dengan segala kelengkapan yang terdapat pada mobil itu sendiri, seperti : mesin, ban, spion, stir dan yang lainnya.

3. Jiwa (Nafsu)
Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.(QS.Az Zumar (39):42).

Jiwa (Nafsu). Sama juga seperti banyak orang dalam menafsirkan tentang Ruh (Rohani), dimana dalam menafsirkan Jiwa (Nafsu) ini, masih banyak juga ragam dan perbedaaannya. Dimana ada yang berpendapat bahwa Jiwa sama seperti Ruh/Rohani, atau ada juga yang berpendapat bahwa Jiwa tersebut adalah Nyawa, dan ada juga yang berpendapat bahwa Jiwa tersebut adalah sama seperti Jasad yang hanya saja Jiwa (Nafsu) tersebut bersifat abstrak (tidak terlihat), dan lain sebagainya.

Dan akan berfungsinya Jiwa, yaitu apabila Jiwa tersebut telah berada bersama Ruh dan Jasad. Sedangkan faktor kedewasannya, tentu tidak selalu ditentukan oleh faktor usia atau umur dari manusia tersebut. Karena, kedewasaan kejiwaan seseorang tersebut bisa juga dipengaruhi oleh wawasan dan pengalaman dari orang itu sendiri.

Jadi..!!! cukup jelas sekali, bahwa kedewasaan jiwa seseorang tersebut tidak semata-mata ditentukan oleh faktor usia/umurnya. Karena seperti yang kita ketahui, cukup banyak orang yang umurnya sudah cukup dewasa atau bahkan sudah jauh lebih tua, akan tetapi secara kejiwaan dan tingkah laku orang tersebut masih seperti kekanak-kanakan (tingkah lakunya masih seperti anak kecil). Demikian juga sebaliknya, banyak orang yang umur/usianya masih relatif lebih mudah (belum terlalu tua) akan tetapi secara kejiwaan orang tersebut kadang sudah jauh lebih unggul atau lebih dewasa ketimbang orang-orang yang umurnya jauh lebih tua daripadanya.

Dan selain itu, dari keterangan ayat-ayat Al-Qur’an sebelumnya tadi juga dijelaskan, bahwa Allah memegang jiwa seseorang ketika seseorang tersebut meninggal dunia (mati) dan sedang tidur, dan Allah juga yang melepaskan jiwa-jiwa atau memberikan jiwa-jiwa yang lainnya sampai waktu yang telah ditetapkan-Nya. Dengan demikian maka cukup jelaslah perbedaan antara Jiwa dengan Ruh tersebut, apalagi jika keduanya (Jiwa dan Ruh) tersebut kita coba kaitkan dengan keberadaan Jasad (Jasmani).

Dan sebagai contoh lain mengenai jiwa (nafsu) tersebut yang mungkin bisa lebih terlihat, : Tatkala kita melihat orang yang sedang tidur, tentu kita akan melihat adanya tanda-tanda kehidupan pada orang yang sedang tidur tersebut. Dimana pada orang sedang tidur tersebut, kita melihat orang tersebut masih bernafas, bergerak dan bahkan kadang berjalan kemana-mana (gelindur). Padahal, seperti disebutkan Allah pada ayat Al-Qur’an (firman-Nya) sebelumnya tadi, bahwa jiwa orang yang sedang dalam keadaan tidur atau orang yang sudah meninggal dunia yaitu dipegang oleh Allah (jiwanya sudah tidak lagi bersama Jasadnya atau jiwanya sudah bersama Allah).

Dan dari berbagai informasi yang penulis dapatkan, bahwa Jiwa (Nafsu) yang terdapat pada diri manusia tersebut yaitu terdiri 12 (dua belas) Jiwa/Nafsu, seperti :

01 Al Ammarah Jiwa yang memaksa
02 Al Hayawaniah Jiwa yang bersifat Kehewanan
03 Al Lawwamah Jiwa yang tercelah & mencelah
04 Al Muthmainah Jiwa yang tenang
05 Al Mulhamah Jiwa yang di ilhami
06 Al Mardhiyah Jiwa yang diridhoi Allah
07 Al Qadisyah Jiwa yang diciptakan Dengan dzikir
08 Al Wahiddah Jiwa yang unik
09 Al Radhiyah Jiwa yang ridho kepada Allah
10 Al Ilahiyah Jiwa yang suci
11 Al Kulliyah Jiwa yang universal
12 Al Kamilah Jiwa yang paripurna

Dan dari 12 (dua belas) Jiwa (nafsu) tersebut dikatakan, ada terdapat 4 (empat) Jiwa (nafsu) yang harus bisa kita kendalikan agar kita bisa selamat, yaitu Jiwa (nafsu) :

Al-Ammarah : Jiwa yang memaksa
Al-Hayawaniah : Jiwa yang bersif Kehewanan
Al-Lawwamah : Jiwa yang tercelah & mencelah
Al-Muthmainah : Jiwa yang tenang

Dan Insya Allah, dengan kita mengendalikan 4 (empat) jiwa (nafsu) tersebut yaitu jiwa/nafsu (Al-Ammarah, Al-Hayawaniah, Al-Lawwamah, Al-Muthmainah) maka Allah akan memanggil kita untuk kembali kepada-Nya, seperti halnya yang terlihat didalam keterangan firman-Nya :

Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.(QS. Al Fajr (89);27-30)


HUBUNGAN KEPADA ALLAH

Berbicara hubungan kepada Allah, dimana secara garis besar yang dipergunakan seseorang didalam berhubungan kepada Allah, yaitu dengan menggunakan Raga (Gerak), Kata (Asma), Cipta (Ciptaan), Rasa (Rasa Jasmani) dan roh-Nya (Rasa Rohani), yang penjelasannya :

1. Raga (Gerak)
Yaitu hubungan kepada Allah yang dilakukan oleh seseorang dengan menggunakan bahasa tubuh (gerak gerik tubuh). Yang cara tersebut menurut Mangkunegara IV yaitu disebutkan dengan sebutan : “Sembah Raga”.

Dan seperti yang kita ketahui, bahwa cukup banyak bahasa tubuh (gerak gerik tubuh) yang dipergunakan seseorang didalam berhubungan kepada Sang Maha Pencipta (Allah), yang diantaranya seperti : Berdiri, duduk, sujud, berjalan, berkelana, mengunjungi tempat-tempat tertentu atau menari-nari dan lain sebagainya.

2. Kata (Asma)
Yaitu hubungan kepada Allah yang dilakukan oleh seseorang dengan ucapan (bertasbih), atau seperti yang sering kita dengar dengan sebutan “Semba Kata/Asma”.

Dan diantara cara “Semba Kata/Asma”, tersebut yaitu seperti dengan cara mengucapkan atau mengagungkan nama-nama Allah (Asmaul Husna) atau dengan cara membaca ayat-ayat suci, berdoa dan lain sebagainya.

“Dan diantara manusia ada yang menyembah Allah hanya sebatas huruf atau tulisan..“ (QS.Al-Hajj(22);11).

“Mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya…” (QS.Al-Hajj(22);74)

“…kecuali hanya menyembah Asma-Nya yang kamu dan nenek moyangmu buat-buat…” (QS.Yusuf(12);40)

3. Cipta (Ciptaan)
Yaitu hubungan kepada Allah yang dilakukan oleh seseorang karena keberadaan ciptaanNya, atau seperti yang sering disebutkan dengan sebutan “Semba Cipta”.

Dan diantara cara “Semba Cipta” tersebut yaitu seperti : dengan seseorang melihat keindahan Alam atau melihat kejadian-kejadian pada alam atau melihat hal-hal yang sangat luar biasa pada ciptaan-Nya maka seseorang tersebut menjadi merasakan keberadaan Allah.

4. Rasa (Rasa Jasmani)
Yaitu hubungan kepada Allah yang dilakukan seseorang yang bertumpu kepada rasa (rasa jasmani), atau yang sering disebutkan dengan sebutan “Semba Rasa”.

Dan kebanyakan dari para pelaksana ritual yang menggunakan perangkat rasa ini, kadang mereka sudah bisa merasakan keberadaan Allah sepertinya sudah sangat dekat sekali dengan mereka, dimana mereka terkadang merasakan seperti sedang diawasi oleh Allah.

Dan selain itu, ada juga diantara para pengguna perangkat ini yang dalam berhubungan kepada Allah menggunakan perasaan yang lebih halus (menggunakan perasaan yang lebih mendalam), dimana mereka kadang terlihat sangat konsentrasi sekali. Dan terkadang juga mereka seperti orang yang tidak sadarkan diri dan merasakan badannya serasa naik dan melayang-layang terangkat keatas seperti sedang berada di alam lain yang belum pernah dikunjunginya (berada di alam astral).

5. roh-Nya (Rasa Rohani)
Yaitu hubungan kepada Allah yang dilakukan seseorang dengan menggunakan roh-Nya/Rohani, atau seperti yang sering disebutkan dengan sebutan “Semba Sukma”.

Dan pada tingkatan “Semba Sukma” ini, yaitu kebanyakan dialami oleh mereka yang sudah sampai pada tingkat keyakinan Haqqul-Yakin/Isbatul-yakin, atau mereka yang sudah bisa menyaksikan Cahaya Allah dengan menggunakan penglihatan mata qalbunya (An Nur 24:35).

Dan tentu tidak ada hijab atau tirai lagi yang menutup antara dirinya dengan Allah SWT, dimana pengalaman yang seperti itu dinyatakan oleh “Dzin Nun Al-Mishry” :

“Aku kenal Tuhanku, dengan Tuhanku jua”.

Yang tentunya, karena orang tersebut telah menggunakan roh-Nya dalam berhubungan kepada-Nya, maka sudah barang tentu penyembahan dan ingatannya kepada Allah menjadi tidak lagi hanya dikira-kira (seolah-olah) saja. Dan orang tersebut juga tentu telah mengerti bahwa darah dan daging tidak akan sampai kepada Allah, atau jasad yang terbuat dari sari pati tanah tentu hanya akan kembali kepada tanah, dan yang bisa menemui/sampai kepada Allah hanyalah roh-Nya (Rohani) yang Allah tiupkan kepada janin atau jasad kita (manusia) sewaktu masih berumur sekitar 120 hari didalam kandungan.

Dan selanjutnya, masih berkaitan dengan pembahasan kita yaitu mengenai hubungan kepada Allah, dimana selain dengan 5 (lima) cara tersebut diatas tadi, tentu ada banyak cara juga yang telah dilakukan oleh para Salik (pencari Allah) agar bisa sampai kepada Allah, dimana berbagai cara yang dipergunakan mereka tersebut yang jika kita coba bagi dalam 2 (dua) kelompok perjalanan, yaitu : “kelompok perjalanan panjang” dan “kelompok perjalanan pendek”.

1. Perjalanan Panjang
Yaitu kelompok cara atau jalan yang dilakukan oleh para Salik (pencari Allah) yang dalam perjalanan pencarian-Nya yang memakan waktu yang cukup lama. Dimana didalam perjalanan pencarian-Nya tersebut mungkin tidak sedikit diantara mereka yang tersesat dan disesatkan dijalan. Atau mungkin juga usianya sudah tidak memungkinkan lagi dan keburu meninggal dunia sebelum sampai kepada Allah.

Dan diantara penempuh jalan atau cara tersebut, tentu ada juga yang beruntung atau berhasil. Karena dengan ketekunan, kegigihan dan pengorbanannya akhirnya si Salik (pencari Allah) tersebut bisa berhasil sampai kepada Allah, walaupun memakan waktu yang cukup lama dan dengan tingkat kesulitan yang tidak sedikit.

Dan masih berkaitan juga dengan perjalanan untuk berhubungan kepada Allah yang sedang kita bahas ini, dimana didalam ajaran agama Islam, istilah untuk perjalanan mencapai hubungan kepada Allah tersebut sering juga kita dengar dengan sebutan ‘Syariat’, ‘Thoriqat’, ‘Hakikat’ dan ‘Ma’rifat’. Yang tingkatan tersebut jika kita coba gambarkan dalam bentuk sketsa gambar kira-kira akan tampak :

A. Syariat
Yaitu yang berarti “tata-hukum” untuk mengatur (menata) hubungan antara manusia dengan sesama manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Sang Maha Pencipta (Allah), atau seperti yang sering disebutkan dengan istilah “hubungan Vertikal” dan “hubungan Horizontal”. Dimana penjelasan atau uraian mengenai perihal tersebut telah cukup banyak diatur dan ditata didalam ilmu-ilmu fiqih, ilmu-ilmu adab budaya dan ilmu-ilmu yang lainnya.

B. Thoriqat
Yang berarti “jalan atau cara”, untuk berhubungan kepada Allah. Dimana istilah seseorang yang memasuki Thoriqat tersebut, biasanya sering disebutkan dengan istilah ”Salik” (orang yang berjalan), sedangkan istilah jalan/cara yang biasa ditempuhnya disebutkan dengan “Suluk”.

Dan disekitar abad ke 2 & 3 hijriah, dimana kebanyakan jalan/cara yang dilakukan oleh para Salik (pencari Allah) dalam berhubungan kepada Allah, yaitu dengan Dzikirullah dan Bertasbih. Dan diantaranya yang cukup terkenal yaitu seperti :

THORIQAT QODIRIYAH yang dibawakan Syekh Abdul Qadir Jaelani q.s (qaddasallhu sirrahu).

THORIQAT SYADZALIYAH yang dibawakan Syekh Abu Hasan As-Syadzili q.s.

THORIQAT NAQSYABANDIYAH yang dibawakan Syekh Baha’uddin An-Naqsyabandi q.s.

THORIQAT RIFA’IYAH yang dibawakan Syekh Ahmad bin Abil-Hasan Ar-Rifa’i q.s.

Dan selain itu, cukup banyak juga aliran-aliran Thoriqat yang lainnya yang berkembang yang mereka anggap sudah sejalan/sepaham dengan firman Allah :

Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak) (Q.S Al Jin (72):16).

C. Hakikat
Yang berarti “kebenaran” atau “kenyataan yang sesungguhnya” atau “kenyataan yang mutlak”.

Dan sesungguhnya, kebenaran yang hakiki/mutlak yang dalam arti yang sebenar-benarnya tersebut, bukanlah hanya terletak pada akal, pikiran dan hati saja, akan tetapi kebenaran yang mutlak dan hakiki tersebut bisa juga terletak pada Rasa, seperti :

Rasa-Jasmani yaitu “kebenaran” yang bisa dirasakan oleh jasad. Seperti bisa merasakan rasa pahit, rasa manis, rasa asam, rasa asin, dan lain sebagainya.

Rasa-Rohani yaitu “kebenaran” yang bisa dirasakan oleh Rohani. Seperti bisa merasakan rasa gembira, rasa sedih, rasa bingung, rasa kecewa, dan lain-lain.

Rasa-Nurani yaitu rasa yang penuh dengan Cahaya, atau rasa hakiki yang bersumber dari kebenaran yang tidak seperti rasa-Jasmani dan rasa-Rohani.

D. Ma’rifat
Yaitu yang berasal dari kata “arafa” yang artinya adalah mengenal, yang bersumber dari hadits nabi :

“Man arafa nafsahu faqad’ arafa Rabbahu”

(Siapa yang mengenal dirinya, sesungguhnya dia dapat mengenal Tuhannya)

Dan sesungguhnya, tidak satupun manusia yang sanggup atau bisa mengenal Allah dalam arti yang paling hakiki (dalam arti yang sebenar-benarnya) kecuali hanya dengan Dia (dengan Nurrullah), seperti yang dinyatakan oleh “Dzin Nun Al-Mishry” berikut :

“Aku kenal Tuhanku, dengan Tuhanku jua”

Atau gambaran lain mengenai hubungan kepada Allah tersebut menurut para “Arif Billah” yaitu seperti :

Bahwa seseorang yang berkeinginan untuk mengenal (menemui) Allah, sesungguhnya laksana seperti hubungan antara jarum-jarum terhadap gumpalan besi berani, dimana bila kita coba perhatikan atau cermati, dimana bila jarum-jarum tersebut kita coba letakkan didekat gumpalan besi berani, maka sudah barang tentu jarum-jarum tersebut akan tertarik atau terseret dengan cepat oleh kekuatan magnit dari gumpalan besi berani tersebut.

Demikian juga halnya kita (manusia) jika berkeinginan untuk mengenal Allah, maka tentu kita akan tertarik oleh kekuatan Allah Azza Wajallah, dan bisa melesat dengan cepat menghadap kepada Allah, Allahu Akbar.

Sejengkal engkau menemui-Ku, maka sedepa Aku mendatangimu. Berjalan engkau kepada-Ku, maka berlari Aku menghampirimu.

2. Perjalanan Pendek
Yaitu perjalanan yang dilakukan oleh para Salik (pencari Allah) yang sangat beruntung. Karena, dalam proses perjalanan pencarian-Nya mereka diberi petunjuk langsung oleh Allah atau diberi petunjuk oleh-Nya melalui perantara rasul-Nya (utusannya).

Dan tentunya perantara (utusannya) yang dimaksudkan tersebut, sebenarnya bukanlah seperti/sejenis Jin ataupun Syetan atau sejenis mahluk halus yang lainnya, akan tetapi perantara yang dimaksudkan tersebut sesungguhnya adalah seorang Guru Mursyid yang telah mengerti atau telah memahami “Ilmu yang bermanfaat“ (sudah mengenal Allah).

Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip." Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia." (QS.An Naml (27):40)

Dan disini tentunya.., jika kita benar-benar belum mengerti tentang pertemuan kepada Allah yang dimaksudkan tersebut, cobalah bertanya kepada ahlinya (Mursyid). Dan janganlah kita mengurui bila kita tidak mengerti tentang hal tersebut, dan biasanya juga guru ilmu mengenal Allah (guru ilmu tauhid) tersebut jarang sekali mau berdebat. Juga Mursyid (guru) tersebut tidak akan memaksakan kehendaknya didalam memberikan ilmu mengenal Allah kepada para murid-muridnya. Dan tentunya juga, guru ilmu mengenal Allah tersebut akan melihat juga bagaimana keinginan atau kemauan atau karep dari si-Salik (pencari Allah) itu sendiri didalam berkeinginan untuk belajar ilmu mengenal Allah.

Karena, akan menjadi perbuatan zholim apabila memberikan ilmu yang bermanfaat kepada orang yang tidak membutuhkannya, dan sudah menjadi kewajiban juga bagi guru mursyid untuk memberikan ilmu yang bermanfaat (ilmu mengenal Allah) kepada orang yang membutuhkannya.

“Janganlah engkau berikan ilmu ini kepada yang tidak membutuhkan, karena itu adalah perbuatan zhalim. Tetapi jangan engkau tidak berikan ilmu ini kepada yang membutuhkan, karena itu juga perbuatan zhalim”(Al-Hadits).

Dan tentunya, untuk lebih mempermudah dalam proses pembelajaran ilmu tersebut, diperlukan keterbukaan kita didalam berkeinginan untuk menerima masukan dari orang lain (guru). Janganlah kita hanya melihat figur seseorang saja dalam belajar ilmu mengenal Allah. Karena ilmu Ma’rifatullah tersebut kadang bisa datang dari sosok orang yang tidak pernah terduga oleh kita, seperti halnya cerita seorang Ulama Besar yaitu Syekh Hamzah Fanzuri yang berguru ilmu Ma’rifatullah kepada seorang tukang sol sepatu yang tidak ternama/terkenal, yang pada akhirnya Syekh Hamzah Fanzuri menjadi berhasil Ma’rifatullah (mengenal Allah).

Dan jadilah orang yang bisa berjiwa besar seperti halnya Jallaludin Ar Rumi, yaitu seorang Guru Besar ilmu muamalah yang sangat terkenal, tetapi masih mau belajar ilmu mengenal Allah kepada Syamsi Tabriz seorang yang tidak ternama/terkenal. Dan karena jiwa besar tersebutlah akhirnya Jallaludin Ar Rumi bisa naik ke tingkat mukhasyafah (menyaksian Cahaya Allah An Nur 24:35), dan menjadi mengerti ilmu “esoterik” yaitu ilmu yang tidak dapat diketahui tanpa penyaksian langsung, yang ilmu tersebut didaratan Amerika dikenal dengan istilah “akoltis”.

Dan kalaupun ada perbedaan, janganlah kita terlalu cepat memvonis atau cepat menyalahkan, apalagi jika perbedaannya tersebut kita juga tidak tahu persis dimana letak perbedaan dan permasalahannya.

Dan sesungguhnya perbedaan itu adalah rahmat,dan juga sudah diprediksikan oleh Nabi Muhammad SAW dan difirmankan Allah di dalam Al-Qur’an seperti :

“Sesungguhnya kamu sekalian dalam keadaan berbeda-beda pendapat”.(QS.Adz-Dzariyaat(51);8)

“Perbedaan pendapat didalam umatku adalah rahmat”.(Al-Hadits)

“Sepeninggalku nanti, umat Islam akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya masuk neraka, hanya satu golongan yang benar yaitu yang berpegang teguh kepada Allah dan Rasul-Nya”. (Al-Hadits)


ALLAH DAPAT KITA TEMUI

Kepastian pertemuan kepada Allah telah Allah janjikan kepada kita (manusia), seperti halnya yang terlihat dari keterangan dan firman-firman-Nya berikut ini :

“Jika kita mempunyai kesungguhan untuk menemui-Nya, maka janji Allah pasti akan datang”.

Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya. (QS.Al Insyiqaaq (84):6)

Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu, pasti datang. Dan Dialah Yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS.Al Ankabuut (29):5)

Dan mengenai tata cara untuk menemui-Nya, diayat-Nya yang lain telah Allah beritahukan juga, bahwa ‘salah satu cara atau jalan’ untuk mencapai pertemuan kepada Allah yaitu dengan cara melakukan sembahyang tahajud dan meyakini-Nya, maka insya Allah kita akan menemui-Nya.

Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. (QS.Al Israa’ (17):79)

(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya. (QS.Al Baqarah (2):46)

Selain itu, diayatnya yang lain Allah juga telah memperingatkan kepada kita, bahwa janganlah kita lalai dan terbuai dengan kenikmatan-kenikmatan yang hanya sesaat saja. Karena ketahuilah, bahwa kehidupan didunia ini hanyalah senda gurau dan penuh dengan tipu daya. Seperti halnya yang sering kita dengar atau dinyanyikan oleh banyak para penyanyi, yaitu “dunia ini panggung sandiwara”, semuanya semu bagaikan fatamorgana.

Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam. (QS.Qaaf (50):22)

Dan contoh tauladan untuk menemui Allah, sudah dicontohkan juga oleh baginda junjungan kita Nabi besar Muhammand SAW, dan juga oleh nabi-nabi Allah yang lainnya dalam usaha serta langkahnya untuk bertemu kepada Allah.

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS.Al Ahzab (33):21)

Kepada Tuhannyalah mereka melihat.(QS.AlQiyaamah(75):23)

Barangsiapa yang mengharap pertemuan kepada Allah, maka janji Allah pasti datang. Apabila hamba-Ku sungguh-sungguh ingin menemui-Ku, maka pasti akan menemui-Ku.

Dari keterangan firman-fiman Allah tersebut diatas, sebenarnya sungguh sudah sangat demikian jelasnya. Dan sudah tentu juga yang dimaksudkan dengan pertemuan dari kutipan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut adalah benar-benar menyaksikan (melihat Allah dengan Haqqul-Yakin/Isbatul-Yakin) atau benar-benar “melihat/menemui”, dan bukan dengan penglihatan yang hanya dikira-kira (seolah-olah) saja. Karena, jika kita hanya mengenal Allah dari informasi atau dari keyakinan karena hanya dari melihat ciptaan-ciptaan-Nya saja, dikhawatirkan penyembahan kita kepada Allah menjadi agak mengambang atau kurang tepat sasaran. Apalagi jika sampai penyembahan kita kepada Allah tersebut kita hanya dengan melihat dan mengingat gambar-gambar yang ada pada tikar sajadah saja, atau hanya dari melihat-melihat tulisan nama-nama Allah yang ada di dinding-dinding saja, sungguh perbuatan yang sia-sia dan sangat dilarang oleh Allah.

Memang.., untuk menemui atau menyaksikan Allah dengan segala keterbatasan kita sebagai manusia tersebut, tentulah hanya akan sebatas kapasitas kita sebagai manusia saja, kerena penyaksian terhadap Allah tersebut yang jika kita coba dengan cara berilustrasi, mungkin tak ubahnya seperti kita melihat hamparan lautan yang sangat luas yang tiada bertepi. Dimana tentu penglihatan dan pemahaman kita (manusia) terhadap laut tersebut hanya akan terbatas atau sebatas sisi-sisi laut tersebut saja (tidak semuanya) .

Dan sebagai contoh (ilustrasi) penyaksian kita terhadap Allah SWT tersebut misalnya, mungkin tak ubahnya seperti kita melihat sebuah rumah yang ukurannya jauh lebih besar daripada ukuran tubuh kita, dimana penglihatan kita terhadap rumah tersebut tentu hanya akan sebatas pada apa yang ada disekeliling kita saja (tidak semuanya atau hanya sebatas atau terbatas pada jangkauan penglihatan mata kita saja).

Saudaraku.!!!, sesungguhnya keterbatasan penglihatan kita yang seperti itu, itulah pengetahuan terbesar yang Allah berikan kepada kita sebagai hamba-Nya (khalifah-Nya), dan kita harus mampu mencapai-Nya. Dan Ruh (Rohani) kita harus mampu menyaksikan dan melebur kepada Wujud Cahaya Allah (Nurrullah) Cahaya diatas Cahaya tersebut. Karena.., hanya dengan cara demikianlah Ruh (Rohani) kita manusia akan bisa terbebas dari belenggu Jiwa/Nafsu.

Dan sebagai ilustrasi, bahwa penyatuan atau peleburan Ruh kepada Cahaya Allah (pertemuan kepada Allah) tersebut, tak ubahnya seperti kita menyatukan dua cahaya lampu yang berbeda, seperti menyatukan cahaya lampu dari lampu yang kecil kepada cahaya lampu dari lampu yang lebih besar.

Dan tentunya, untuk bisa menyatukan cahaya lampu dari lampu yang kecil kepada cahaya lampu dari lampu yang lebih besar tersebut, haruslah kita bersihkan kotoran-kotoran yang menempel pada kaca-kaca lampu tersebut (yang khususnya pada lampu yang kecil), karena hanya dengan cara demikianlah cahaya lampu dari lampu yang lebih kecil tersebut akan bisa memancar keluar dan menyatu, melebur kepada cahaya lampu dari lampu yang lebih besar tersebut.

Demikian juga hakikatnya kita didalam menemui Allah, yaitu dengan melepaskan Ruh dari belenggu jiwa/nafsu, sehingga Ruh tidak lagi buta dan tuli, dan Ruh menjadi kembali suci, sehingga Ruh bisa kapan dan dimana saja menyatu, melebur kepada Cahaya Allah (Nurrullah), Cahaya berlapis Cahaya, Allah Azza Wajallah, Tuhan Semesta Alam.


PERWUJUDAN ALLAH MENURUT AL-QUR’AN
DAN AGAMA-AGAMA LAIN


Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (QS.Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? . Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. (QS.Al Qadr (97):1,2,3).

Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS.An Nuur (24):35)

(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: "Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan: kulihat semuanya sujud kepadaku." (QS.Yusuf (12):4).

Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk: dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya. (QS.Al Khafi (18):17)

Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang, (QS.As Shaaffaat (37):6)

Dan seperti yang telah disebutkan dibagian awal Article ini, bahwa cukup banyak penjelasan-penjelasan yang ada didalam Al-Qur’an yang penjelasannya menggunakan ayat-ayat mutasyaabihaat dengan perumpamaan-perumpamaan dan kias-kias, yang seperti terlihat pada potongan-potongan ayat-ayat Al-Qur’an berikut ini :

Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan (QS.Al Qadr (97):3)

Seperti lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara (An Nuur (24):35)

Melihat sebelas bintang, matahari dan bulan: kulihat semuanya sujud kepadaku." (Yusuf (12):4).

Melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah (QS.Al Khafi (18):17)

Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang (As Shaaffaat (37):6), dll

Allah cahaya langit dan bumi, perumpamaan cahaya Allah laksana seperti sebuah lubang yang tak tembus, dan di dalamnya ada pelita besar, yang berada didalam beranda kaca, dan kacanya saja seakan-akan bintang seperti mutiara, cahaya diatas cahaya, Allah membimbing (memberi petunjuk) kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki.

Dan pada ayat-Nya yang lain dikatakan bahwa, malam kemuliaan itu terangnya lebih baik dari seribu bulan, Allah menghiasi langit terdekat dengan hiasan bintang-bintang. Dan bagi hamba-Nya yang mendapat petunjuk, maka akan dibimbing melihat matahari terbit condong dari gua mereka dari sebelah kanan dan akan terbenam ke sebelah kiri.

Beberapa penjelasan tentang Wujud Allah tersebut, sejalan juga dengan beberapa hadits Rasulullah SAW :

Apakah engkau melihat Tuhanmu..? Cahaya sesungguhnya aku melihat-Nya (HR Bukhari).

Ketika para ahlul Jannah berada dalam kenikmatan, tiba-tiba muncullah Cahaya yang terang benderang, maka merekapun mendongakkan kepala-kepala mereka. Ternyata Cahaya itu adalah Allah yang sedang melihat mereka dari atas mereka, Allah berfirman : “As Salamu’alaikum, wahai ahlul Jannah”. Beliau melanjutkan : “Itulah makna firman Allah : (Kepada mereka dikatakan): "Salam", sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang (QS. Yasin (36):58). Allah melihat para ahlul Jannah dan merekapun melihat-Nya. Maka mereka tidak mau menoleh kepada kenikmatan yang lain, hingga Allah menghilang dari pandangan mereka, namun barokah dari Cahaya Allah itu terus meliputi mereka di Jannah (HR Ibnu Majah)

Saudaraku., bila kita cermati beberapa penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits-Hadits Nabi didalam menjelaskan tentang perwujudan Allah yang dapat kita temui, dimana semuanya lebih merujuk kepada perwujudan Allah yang dapat kita temui tersebut yaitu berupa “Cahaya-(Nur)”. Yang tentunya jangan kita artikan dalam artian yang sempit.

Sesungguhnya Nur (Cahaya) yang bisa disaksikan oleh mata qolbu (mata hati/ruh-Nya) tersebut adalah Nuurullah (Cahaya Allah) itu sendiri (“Allah SWT”), dan sebutan untuk Nur (Cahaya) atau sebutan nama-nama Allah yang lainnya sesungguhnya hanyalah majaz (kiasan) dan hanya merupakan gambaran-Nya saja dan bukan Dia yang sesungguhnya.

Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan Cahaya (Al-Qur’an) yang telah kami turunkan. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (At-Taghabun(64);8).

Hai sekalian manusia ! telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu dan telah kami turunkan kepadamu “CAHAYA” yang terang benderang (An-Nisa (4);174).

Dan selanjutnya, kita lihat pengertian mengenai Cahaya (Nur) menurut agama atau kepercayaan-kepercayaan lain :

Menurut Pustaka Sasangka Jati, bahwa Tuhan itu adalah Satu, akan tetapi bersifat tiga (TRI PURUSA) yaitu :

1. SUKMA KAWEKAS (Sukma: Hidup, Kawekas: Tertinggi), Sumber Hidup yang tertinggi. Sumber Hidup. Dan semua yang hidup berasal dari Sukma Kawekas, yang didalam agama Islam disebut Allah Ta’ala atau Nuurullah.

2. SUKMA SEJATI, ialah Utusan Tuhan Yang Sejati atau yang disebut utusan yang abadi, yang dalam agama Islam disebut : Rasul/utusan atau Nuur Muhammad.

3. ROH SUCI, (SINAR/CAHAYA) yaitu percikan dari Tuhan (percikan dari Sukma Kawekas) atau menurut agama Islam disebut : Rohani/ruh-Nya (Nuurul Insan)

Dan Roh Suci (Sinar/Cahaya) sesungguhnya adalah percikan dari Sukma Kawekas, maka sudah tentu Roh Suci (Sinar/Cahaya) tersebut tidak bisa dipisahkan dari Sukma Kawekas, karena Roh Suci (Sinar/Cahaya) tersebut sesungguhnya adalah bagian dari Sukma Kawekas itu sendiri.

Menurut agama Kristen didalam Kitab Injil :
Aku adalah Cahaya yang datang di dunia ini, supaya barang siapa yang kenal akan Daku, janganlah tinggal di dalam gelap. (Injil, Yahya 12:46)

Menurut agama Hindu didalam Kitab Baghawad Gita :
Beri santaplah yang bercahaya (Brahma Sang Pencipta), mudah-mudahan engkau akan dikaruniai, dari jalan inilah akan tercapai keselamatan yang setinggi-tingginya. Oleh karena itu yang bercahaya diberi santapan kurban, akan mengkaruniai segala kenikmatan yang diharap.

Menurut agama Budha :
Bahwa sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa tersebut adalah Sanghyang Adi Budha, yaitu sumber dari segala sumber yang memancarkan sinar-Nya. Dan dari Diri-Nya (Sanghyang Adi Budha) jugalah tercipta 5 (lima) Dyani Budha :

1. Vairocana : Sumber Cahaya
2. Aksobya : Sumber ketenangan
3. Ratna Sambhawa : Permata Alam Semesta
4. Amitabha : Cahaya Tanpa Batas
5. Amoasidhi : Maha Jadi Yang Tidak Mengenal Kegelapan

Dari kita melihat pengertian mengenai Tuhan dari berbagai Agama atau berbagai aliran kepercayaan yang ada didunia ini, dimana mayoritasnya menyatakan bahwa Tuhan itu adalah “Nuur” atau “Cahaya diatas Cahaya” atau “Maha Cahaya” atau “Sumber Cahaya” dan lain sebagainya.

Dan sebutan Cahaya (Nuur) tersebut, sesungguhnya hanyalah lebih kepada perumpamaan atau gambaran yang baru bisa dipahami oleh kita (manusia). Karena, sesungguhnya penyaksian Nuur (Mukhasyafah) tidak sama seperti penyaksian kita terhadap cahaya-cahaya ciptaan-Nya yang ada di jagad raya ini, seperti penyaksian/penglihatan kita terhadap cahaya matahari atau penglihatan kita terhadap cahaya bulan atau cahaya-cahaya yang lainnya, karena Allah berbeda dengan ciptaan-Nya ‘Laisa kamistlihi syai’un’.

Memang..!!!, dalam menafsirkan Wujud Allah yang berupa “Cahaya (Nur)” ini, saat ini masih cukup banyak juga yang kurang sependapat atau kurang sepaham. Karena, masih banyak pemahaman yang menyatakan bahwa Allah itu Gaib (Allah tidak bisa kita temui), dan wujud Allah belum pernah terbersit atau terbayangkan oleh kita (manusia).

Oleh karena itu, agar tidak terjadi perbedaan paham dalam menafsirkan wujud Cahaya (Nur) tersebut, dan seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan oleh nabi-nabi Allah yang lainnya, seharusnya kita menyaksikan-Nya sendiri (Haqqul/Isbatul-yakin) Wujud Cahaya (Nur). Karena, jika pembuktian terhadap Wujud Cahaya (Nur) tersebut belum pernah kita lakukan maka pembicaraan atau penjelasan kita tentang Cahaya (Nur) tersebut tentu akan sulit untuk kita pahamkan atau kita mengerti. Dan mungkin yang ada, kita hanya akan memahamkan-Nya secara sepihak saja atau secara individu kita saja. Dan tentunya, jika kurang arif dan kurang bijaknya kita dalam menyikapi pemahaman tentang Wujud Allah yang berupa Cahaya (Nur) tersebut, maka ada kemungkinan kita akan terjebak perselisihan paham yang berujung pada keributan yang hanya ingin memenangkan pendapat sendiri. Atau mungkin, kita bisa terjebak sama seperti cerita orang-orang yang terdapat pada contoh cerita sinonim fiksi berikut didalam meributkan yang namanya air :

Singkat ceritanya kira-kira :
Beberapa orang yang meributkan nama “air”, padahal sesungguhnya mereka itu sudah pernah melihat wujud air.

Ceritanya :
Salah satu dari mereka ada yang berasal dari pulau jawa yaitu Jawa Barat sehingga menyebutkan yang namanya air dalam bahasa Sunda adalah “Cai”, dan yang satunya lagi yaitu berasal dari Jawa timur sehingga menyebutkan yang namanya air dalam bahasa Jawa adalah “Banyu” dan yang satunya lagi berasal dari kulon (Eropa), sehingga orang tersebut menyebutkan yang nama air tersebut adalah “Water” dan yang satunya lagi menyebutkan namanya ini, dan yang satunya lagi menyebutkan namanya itu dan lain sebagainya..

Dan mereka semua merasa dialah yang paling benar, sedangkan pendapat atau sebutan dari orang lain mereka anggap salah. Yang kemudian mereka ribut, bertengkar, dan waktu mereka habis percuma tanpa mendapatkan kata sepakat terhadap apa yang telah mereka peributkan itu.

Padahal…!!!, seperti yang kita ketahui, bahwa apa yang mereka ributkan itu adalah sama-sama bernama Air dan semuanya sebenarnya sudah sama-sama benar. Dan sudah selayaknya juga mereka bisa menyelesaikan perbedaan pendapat tersebut dengan cara duduk bersama dan menyaksikan bersama-sama apa hakikat/bentuk yang sesungguhnya dari ‘air’ yang telah mereka peributkan itu.

Dan tentunya, dari contoh cerita tersebut, paling tidak ada sesuatu yang bisa kita ambil sebagai bahan pembelajaran agar kita bisa menjadi orang yang bisa lebih arif dan bijak dalam melihat segala sesuatunya, dan kita juga bisa menjadi orang yang tidak gampang terjebak pada keinginan atau pendapat yang hanya ingin menang sendiri (fanatik), dan mau melihat sisi kebenaran yang disampaikan oleh orang lain.

Dan sebagai langkah bijak tentunya, kalau memang benar kita ingin mencari suatu kebenaran, apa salahnya kalau kita mau mencoba atau berusaha ingin tahu, misalnya dengan cara ikut bersama-sama membuktikan atau melihat secara langsung hakikat yang sesungguhnya dari apa yang dicari. Sehingga kita bisa berkesimpulan yang lebih realistis, karena telah benar-benar membuktikannya sendiri dan tidak karena katanya sianu atau karena katanya siitu saja.

Dan kembali kita kepada pembuktian Cahaya (Nur) tadi, yang tentunya juga, bila kita sudah pernah membuktikan Cahaya (Nur) tersebut, tentu paling tidak bila kita ingin menyampaikannya kepada orang lain, kita juga tahu persis terhadap apa yang kita bicarakan/sampaikan itu, walaupun mungkin orang yang kita ajak bicara tersebut tidak paham atau belum tahu (belum mengerti) terhadap apa hakikat atau bentuk yang sesungguhnya dari apa yang kita bicarakan atau sampaikan tersebut. Demikian juga sebaliknya, jika kita belum pernah membuktikan Cahaya (Nur) tersebut, maka ada kecenderungan penyampaian kita atau ucapan kita kepada orang lain tersebut terdapat suatu kebohongan atau lebih merupakan sesuatu ucapan yang hanya dikira-kira saja (bohong belaka).

Yang tentunya dalam hal ini, sesungguhnya bukan saja orang lain yang telah kita bohongi, akan tetapi sebenarnya juga kita telah berbohong kepada diri kita sendiri. Dan yang sangat lebih celakanya lagi dengan hal atau perbuatan kita tersebut, yaitu berarti kita juga telah berbohong kepada Allah SWT “Na’uzubillahi min zalik”.


ALLAH DEKAT DENGAN HAMBANYA

Manusia sesungguhnya Allah yang menciptakan, dan Allah mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Allah juga sangat dekat dengan hamba-Nya, dan bahkan lebih dekat daripada urat leher hamba-Nya (QS.Qaaf (50):16).

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (QS.Qaaf (50):16)

Dan dikatakan, apabila ada diantara hamba-hamba-Nya ada yang bertanya tentang Allah, maka jawablah, bahwasanya Allah sangat dekat dengan hamba-hamba-Nya, dan Allah akan mengabulkan permohonan hamba-Nya apabila hamba-Nya benar-benar berdoa atau memohon kepada-Nya.

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS.Al Baqarah (2):186)

Aku telah memilihmu untuk diri-Ku. (QS.Thaahaa (20):41)

Dan diberitahukan juga, agar hamba-hamba-Nya beriman kepada-Nya dan hendaklah agar selalu berada didalam kebenaran. Dan Allah memilih hamba-Nya untuk diri-Nya, dan janganlah hamba-hamba-Nya khawatir, karena sesungguhnya Allah beserta/bersama hamba-hamba-Nya, dan Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat segala sesuatunya.

Allah berfirman: "Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat. (QS.Thaahaa (20):46)

Allah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, Allah bersemayam di atas ´arsy. Sungguh Allah mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Allah bersama kamu di mana saja kamu berada. Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS.Al Hadiid (57):4).

Dan sebagai gambaran atau ilustrasikan mengenai kedekatan antara kita (manusia) terhadap Allah SWT tersebut, mungkin akan terlihat seperti hubungan antara Daratan, Danau dan Lautan, yang dalam pengertian :

Daratan = Jasad (Jasmani)
Danau = Ruh (Rohani/ruh-Nya)
Lautan = Allah (Maha Ruh)

Daratan -> yaitu hamparan tanah yang berada diatas permukaan air.

Yang tentunya, segala apa yang berada diatas hamparan tanah tersebut tentu akan sangat bergantung sekali terhadap keberadaannya air tersebut. Karena, tanpa adanya air maka hamparan tanah tersebut akan menjadi kering, gersang, tandus dan cenderung tidak akan menghasilkan apa-apa.

Demikian juga kaitannya dengan Jasad kita (manusia) yang tercipta dari saripati mani yang berasal dari unsur tanah, udara, api dan air. Karena, sudah tentu juga Jasad tersebut akan sengsara atau akan lebih dikendalikan oleh Jiwa (Nafsu) apabila kurang berperannya Ruh (Rohani) dalam perjalanan kehidupannya. Terlebih lagi jika Ruh sudah tidak lagi berada bersama jasad, maka pasti jasad tersebut akan menjadi bangkai yang membusuk yang tidak bisa berbuat apa-apa.

Danau -> yaitu air yang tergenang di tengah-tengah daratan. Dan dipastikan air danau tersebut akan tampak lebih bening seperti air laut bila adanya sirkulasi air atau sering terjadinya pertukaran air dengan air laut. Begitu juga sebaliknya jika tidak adanya sirkulasi air, maka tentu air danau tersebut akan tampak lebih kotor, kuning dan akan lebih cenderung mengeluarkan bau yang tidak mengenakkan.

Kaitannya dengan Ruh (Rohani) adalah : bila kita sering berhunbungan kepada Allah maka dapat dipastikan dalam proses perjalanan kehidupan kita sehari-hari akan lebih tampak eksistensi atau sifat-sifat Allah, sehingga jiwa (nafsu) akan lebih dikendalikan oleh Ruh, dan Ruh bisa kembali menjadi suci, dan bisa kapan saja bersatu, menyatu dan melebur menjadi satu kepada Cahaya berlapis Cahaya.

Lautan -> yaitu hamparan air yang sangat luas yang mengelilingi daratan dan danau.

Begitu juga dengan Allah, karena apapun yang ada didalam Jagad Raya ini, atau semua yang ada didalam alam semesta ini semuanya diliputi oleh Allah. Dan tidak ada satupun yang ada dipermukaan bumi ini yang luput dari pengawasan Allah, karena Allah Maha Melihat, Allah Maha Mendengar dan Allah Maha Meliputi atas segala sesuatunya.

Dan berkaitan dengan kontek kedekatan antara Allah dengan hamba-Nya, yang kaitannya dengan ilustrasi diatas adalah : “Bahwa ternyata..!!!” antara lautan dan danau tersebut sesungguhnya terdapat persamaan unsur, dimana dari kedua nama atau sebutan keduanya tersebut, baik Lautan maupun Danau adalah sama-sama berunsur “air” yang hanya saja dibedakan media penampung dan jumlah besarnya saja. Dan sudah pasti kita akan mengenal yang namanya air apabila kita sudah mengenal lautan, demikian juga sebaliknya, sudah pasti juga kita akan mengenal yang namanya air apabila kita sudah mengenal yang namanya danau. Karena, air yang berada didalam danau pada dasarnya adalah air yang berasal dari dalam lautan, dan dua-duanya juga sebenarnya adalah sama-sama berunsur air.

Demikian juga hakikatnya kita dalam mengenal Allah, karena dengan kita telah mengenal Ruh (roh-Nya) maka sudah dapat dipastikan juga kita akan mengenal Allah dalam skala kita manusia, karena sesungguhnya hakikatnya Ruh (roh-Nya) yang berada pada diri kita (manusia) tersebut adalah berasal dari Allah, yang Allah tiupkan kepada Jasad sewaktu kita (manusia) berada didalam rahim atau kandungan ibu kita.

Dengan demikian, maka kiranya sudah sesuailah apa yang telah di disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW :

“Man arafa nafsahu faqad’ arafa Rabbahu”

(Kenalilah dirimu maka kamu akan mengenal siapa Tuhanmu). (HR Buchori Muslim)

Yang mana keterangan mengenai perihal tersebut menurut guru besar ilmu tauhid Imam Ghozali di dalam bukunya HUDAYATUL ISLAM, tentang TIGA DZAT yaitu :

1. DZAT I yaitu yang dinamakan NUURUL ILLAHI yang artinya CAHAYA TUHAN

2. DZAT II dinamakan : NUURUL MUHAMMAD yang artinya CAHAYA TERPUJI, atau yang dikiaskan yaitu menjadi UTUSAN TUHAN

3. DZAT III dinamakan : NUURUL INSANI yang artinya MANUSIA (sukma)

Dan DZAT III (NUURUL INSANI) sesungguhnya merupakan percikan dari DZAT I, sehingga Dzat III tersebut tidak dapat kita pisahkan dari DZAT I (NUURUL ILLAHI).

Atau misalnya untuk pengertian hakekatnya yang lain juga seperti : dengan kita telah mengenal Ruh (roh-Nya), maka berarti juga kita sudah menyantuni anak yatim (telah menyantuni Ruh/Rohani yang tiada ber-Ayah dan tiada ber-Ibu). Yang berarti juga, bahwa kita telah membuka kesadaran bathin kita, yaitu dengan telah membuka jalur penghubung silaturahmi antara Ruh (roh-Nya) dengan Maha Ruh (Allah). Sehingga Ruh (roh-Nya) bisa mengetahui jalan kembalinya, baik semasa atau sewaktu masih hidup didunia maupun setelah meninggal dunia (mati).


ALLAH MELIPUTI SEGALA SESUATU

Tiada Tuhan selain Allah, kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, Allah juga yang menciptakan tujuh langit dan juga bumi, Allah yang Hidup Kekal selama-lamanya, Allah tidak pernah tidur, Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar, Allah Maha Kuasa dan Meliputi segala sesuatu, termasuk juga meliputi ciptaan-Nya, pengetahuan, Ilmu, rahmat, materi, energi, ruang, waktu, informasi, baik, buruk, bersih, kotor, siang, malam, kebaikan, keburukan lahir bathin dan sebagainya, dan sebagainya…tanpa terkecuali.

Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu. (QS.An Nisaa' (4):126)

Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah Allah, yang tidak ada Tuhan selain Dia. Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu." (QS.Thaahaa (20):98)

Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. (QS.Ath Thalaaq (65):12)

(Malaikat-malaikat) yang memikul 'Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): "Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala, (QS.Al Mu'min (40):7)

Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat; sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada Engkau. Allah berfirman: "Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami." (QS.Al A'raaf (7):156)

Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS.Al Baqarah (2):255)

Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, (QS.Al Mulk (67):1)

Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong. (QS.Al Baqarah (2):107)

Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya' kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan. (QS.Al Anfaal (8):47)

Syu'aib menjawab: "Hai kaumku, apakah keluargaku lebih terhormat menurut pandanganmu daripada Allah, sedang Allah kamu jadikan sesuatu yang terbuang di belakangmu?. Sesungguhnya (pengetahuan) Tuhanku meliputi apa yang kamu kerjakan." (QS.Huud (11):92)

Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu: "Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia." Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon kayu yang terkutuk dalam Al-Qur’an. Dan Kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka. (QS.Al Israa' (17):60)

Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ingatlah bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu. (QS.Fushshilat (41):54)

atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir,sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir. (QS.Al Baqarah (2):19)

Dan kita (manusia) pada dasarnya sudah berada didalam kesatuan Allah SWT, atau sudah berada didalam liputan Allah, dan sudah barang tentu juga manusia itu sangat dekat sekali dengan Allah, bahkan kemana dan dimanapun manusia itu berada maka manusia itu sudah bersama Allah, karena Allah Maha Besar, Allah Maha Tunggal, Allah Maha Meliputi, termasuk juga meliputi kita (manusia) dan Jagad Raya ini dengan bebagai planet-planetnya.

Dengan demikian, maka pengertian kedekatan Allah terhadap hamba-Nya tersebut, sebenarnya bukanlah berarti kita (manusia) terpisah dari Allah atau ada jarak pemisah antara kita manusia dengan Allah, akan tetapi kedekatan yang dimaksudkan disini adalah lebih merupakan ‘kedekatan secara kualitas’ dan bukan ‘kedekatan secara kuantitas’. Karena, secara kuantitas sebenarnya kita (manusia) sudah berada didalam liputan Allah dan sudah menjadi bagian dari Allah itu sendiri, karena Allah Maha Besar, Allah Maha Tunggal, Allah Maha Meliputi segala sesuatu.

Demikian juga halnya pengertian kita atau pemahaman kita mengenai ‘Pertemuan kepada Allah’, karena seperti yang telah disebutkan di bagian sebelumnya, bahwa pertemuan kepada Allah tersebut bukan berarti kita sebelumnya terpisah dari Allah, akan tetapi secara kuantitas sebenarnya kita (manusia) sudah berada didalam liputan Allah, yang artinya juga bahwa kita sebenarnya sudah bersama Allah.

Jadi.., yang dimaksudkan dengan pertemuan kepada Allah tersebut adalah “Ma’rifatullah” (penyaksian kepada Wujud/Dzat Allah yang berupa Cahaya atau Nur), atau terbukanya hijab yang menutup antara Ruh/Rohani terhadap Allah, sehingga Ruh/Rohani bisa melihat sampai kepada Cahaya diatas Cahaya, dan Cahaya dari Ruh bisa terpancar keluar sehingga bisa menembus jiwa dan bersatu, menyatu serta melebur menjadi satu kedalam satu kesatuan Sumber dari Sumber Segala Cahaya, yaitu Cahaya diatas Cahaya, Allah Azza Wajallah Tuhan Semesta Alam.

Sesungguhnya inilah puncak keberhasilan pembersihan Jiwa, yaitu terciptanya Jiwa (Nafsu) yang Mutmainnah yaitu jiwa yang diridhoi oleh Allah, dengan demikian maka ritual berserah diri kita kepada Allah menjadi lebih terarah dan benar, sehingga kita bisa bertemu dan mengingat-Nya pagi dan petang dan tanpa dibatasi ruang dan waktu lagi.

Bila kita coba Restback atau kembali pada penjelasan diatas, mungkin ada terbersit dihati kita. Sebenarnya kalau kita sudah berada didalam liputan Allah kenapa kok kita ini masih diharuskan mencapai pertemuan kepada Allah, bukankah kita ini sebenarnya sudah berada didalam Allah..?, mau jahat atau bagus toh..kita sebenarnya sudah berada didalam liputan Allah dan tetap berada didalam Allah.

Disini memang kalau kita hanya melihat dari sisi kembali atau tidak kembalinya kita kepada Allah, mungkin pencapaian pertemuan kepada Allah tersebut tidak perlu kita lakukan, akan tetapi yang perlu kita ketahui atau garis bawahi bahwa, perintah dan larangan Allah didalam agama diperuntukkan untuk keselamatan kita. Karena, jika kita tidak melaksanakan perintah dan larangan Allah yang terdapat didalam agama, bisa jadi kita menjadi orang yang semberono/asal-asalan, tabrak sini dan tabrak sano dalam perjalanan kehidupan kita sehari-hari, dan tanpa ada pegangan yang jelas dalam pelaksanaan berkehidupan, yang mungkin pada akhirnya bisa berakibat/berujung kepada ketidakselamatan kita baik didunia maupun akhirat.

Dan selanjutnya, kembali kita kepada pembahasan pencapaian pertemuan kepada Allah (Ma’rifatullah), dimana untuk bisa sampai kepada tingkat kualitas yang lebih baik atau tingkat yang sempurna, tentu banyak terpahan-terpahan yang kita alami dalam proses perjalanan pencapaian-Nya tersebut. Yang kalau kita coba buatkan dalam sketsa gambar, kira-kira hubungan antara perjalanan kehidupan kita tersebut terhadap terpahan-terpahan kehidupan kita sehari-hari, mungkin akan terlihat seperti sketsa gambar berikut ini :

Dan dari ilustrasi sketsa gambar tersebut, yang jika kita misalkan semua yang ada didalam lingkaran tersebut, yang termasuk juga lingkaran itu sendiri, mulai dari A, B, C dan D diliputi Allah ‘dalam skala manusia’. Yang jika kita asumsikan juga bahwa lingkaran tersebut berputar yang menunjukkan pengaruh dari proses perjalanan kehidupan kita sehari-hari, maka dalam hal ini, jika posisi kita terhadap lingkaran tersebut masih berada pada sisi ruang yang agak lebih keluar, maka pasti akan sangat terasa sekali pengaruh dari putaran lingkaran tersebut. Demikian juga sebaliknya, jika kita berada atau kita bergerak semakin ke arah bagian tengah, maka tentu akan semakin berkuranglah pengaruh dari putaran lingkaran tersebut. Apalagi jika kita bisa persis berada di titik tengah yaitu persis berada di titik D, maka tentu pengaruh dari putaran lingkaran tersebut akan menjadi mengecil atau bahkan akan tidak terasa sama sekali (zero).

Dan kaitannya dengan hubungan kita kepada Allah (Ma’rifatullah) adalah, jika hubungan kita kepada Allah lebih mengarah kepada tingkatan yang lebih baik (sesuai tuntunan), maka mudah-mudahan akan semakin sedikitlah terpahan-terpahan yang menggangu proses perjalanan kehidupan kita sehari-hari, dimana keimanan kita kepada Allah akan menjadi lebih baik, dan insya Allah juga Allah mengijinkan kita untuk selalu menemui-Nya kapan dan dimana saja (disetiap saat).

Untuk penjelasan seperti yang ada pada sketsa gambar diatas, sebenarnya sudah cukup banyak juga disampaikan oleh para Wali Allah dan para pewaris ilmu mengenal Allah yang ada di Nusantara ini sejak zaman dahulu, dimana simbol-simbol penyampaiannya tersebut sebenarnya sudah cukup banyak terlihat dari bentuk-bentuk bangunan Mesjid atau bangunan rumah-rumah ibadah atau bagunan-bagunan yang lainnya yang bertingkat-tingkat yang melambangkan tingkatan perjalanan atau kualitas hubungan hamba-Nya kepada Allah.

Dan didalam ajaran agama Islam hal tersebut sering juga kita dengar dengan sebutan atau istilah : ‘Syareat’, ‘Hakikat’, ‘Torekat’ dan ‘Ma’rifat’, yang hanya saja bedanya dengan gambar lingkaran sebelumnya tadi yaitu dari cara bergeraknya. Karena, pada gambar yang sebelumnya (lingkaran) tadi, bahwa untuk mencapai tingkatan kesempurnaan maka cara bergeraknya adalah menuju kearah tengah yaitu mulai dari A, B, C sampai D, sedangkan pada istilah ‘Syariat’, ‘Thoreqat’, ‘Hakikat’ dan ‘Ma’rifat’, maka untuk mencapai ketingkatan yang lebih baik/sempurna cara bergeraknya yaitu kearah atas yaitu mulai dari syariat, Thoriqat, Hakikat sampai ke Ma’rifat.


BERBAGAI PERTANYAAN TAUHID

Bebagai jawaban dari beberapa pertanyaan yang seperti telah disebutkan dibagian awal Article ini, berikut kita coba lihat/uraikan satu persatu beberapa pertanyaan tersebut

Pertanyaan :
Apakah benar Allah dapat kita (manusia) temui semasa kita (manusia) masih hidup didunia…?

Jawaban :
Jika kita lihat contoh pertemuan kepada Allah yang telah dilakukan oleh para Nabi dan oleh para pendahulu-pendahulu kita yang diinformasikan-Nya didalam Al-Qur’an, dimana pertemuan kepada Allah yang dilakukan oleh para Nabi dan para pendahulu kita tersebut, semua dilakukan mereka semasa masih hidup didunia, bukan setelah mereka meninggal dunia. Seperti, : peristiwa Isra’ (penjalanan) dan Mi’raj (malam) nya Nabi Muhammad SAW untuk bertemu kepada Allah. Atau seperti yang dilakukan oleh nabi Musa a.s untuk bertemu Allah yang pada akhirnya beliau (nabi Musa a.s) di “sambar petir”. Atau juga seperti yang dilakukan oleh para pemuda-pemuda di gua khafi, dimana mereka menyaksikan “matahari terbit condong dari sebelah kanan dan terbenam kesebelah kiri mereka”, atau seperti pertemuan kepada Allah yang telah dilakukan oleh para nabi dan wali-wali Allah yang lainnya, dimana disebutkan bahwa pertemuan mereka kepada Allah dilakukan semasa mereka masih hidup didunia.

Dan disini tentunya, yakinkanlah diri kita bahwa Al-Qur’an (ayat-ayat suci yang lainnya) diturunkan untuk semua umat manusia yang tidak hanya terbatas kepada kalangan-kalangan tertentu saja. Dan Al-Qur’an tidak diperuntukkan hanya kepada para Nabi saja, yang berarti juga, bahwa kita semua berkewajiban untuk melaksanakan dan mematuhi perintah dan larangan Allah yang terdapat didalam Al-Qur’an tersebut, termasuk juga melaksanakan perintah menemui-Nya.

Sungguh telah rugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Tuhan: sehingga apabila kiamat datang kepada mereka dengan tiba-tiba, mereka berkata: "Alangkah besarnya penyesalan kami, terhadap kelalaian kami tentang kiamat itu!", sambil mereka memikul dosa-dosa di atas punggungnya. Ingatlah, amat buruklah apa yang mereka pikul itu. (QS.Al An’aam (6):31)

Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar) (QS.Al Baqarah (2):18)

Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar). (QS.Al Israa’ (17):72)

Pertanyaan :
Wujud seperti apakah yang Allah perkenankan kepada kita (manusia) untuk ditemui tersebut...?

Jawaban :
Mengacu kepada penjelasan-penjelasan dengan berbagai perumpamaan-perumpamaan atau kiasan-kiasan yang terdapat didalam Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi, dan telah diuraikan juga secara panjang lebar pada “PERWUJUDAN ALLAH MENURUT AL-QUR’AN DAN MENURUT AGAMA LAIN” yang terdapat pada Article ini, dimana Wujud Allah yang dapat kita temui dengan mata qolbu tersebut yaitu berupa : “Cahaya-(Nur)”. Yang tidak dalam pengertian yang sempit.

Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (An Nuur (24):35)

Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk: dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya. (QS.Al Khafi (18):17)

Atau menurut Agama Kristen di dalam Kitab Injil :
“Aku adalah Cahaya yang datang di dunia ini, supaya barang siapa yang kenal akan Daku, janganlah tinggal di dalam gelap”. (Injil, Yahya 12:46)

Atau menurut Agama Hindu didalam Kitab Baghawad Gita :
“Beri santaplah yang bercahaya (Brahma Sang Pencipta), mudah-mudahan engkau akan dikaruniai, dari jalan inilah akan tercapai keselamatan yang setinggi-tingginya. Oleh karena itu yang bercahaya diberi santapan kurban, akan mengkaruniai segala kenikmatan yang diharap”.

Atau menurut agama Budha
Bahwa sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa tersebut adalah Sanghyang Adi Budha, yaitu sumber dari segala sumber yang memancarkan sinar-Nya, dan dari Diri-Nya (Sanghyang Adi Budha) juga terciptanya lima Dyani Budha berikut :

1. Vairocana : Sumber Cahaya
2. Aksobya : Sumber ketenangan
3. Ratna Sambhawa : Permata Alam Semesta
4. Amitabha : Cahaya Tanpa Batas
5. Amoasidhi : Maha Jadi Yang Tidak Mengenal Kegelapan

Yang tentunya, cahaya (Nur) yang dimaksudkan tersebut tidaklah seperti cahaya-cahaya ciptaan-Nya, karena Allah tidak sama dengan ciptaan-Nya. Dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi orang-orang yang berakal dan mau berfikir, dan Allah juga yang membimbing dan memberi petunjuk kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki.

Oleh karena itu, disinilah perlunya kita untuk melakukan pembuktian langsung kebenaran dari “Cahaya (Nur)” tersebut, karena hanya dengan cara demikianlah kita bisa paham dan mengerti terhadap ayat-ayat Allah yang dijelaskan-Nya dengan ‘perumpamaan atau kiasan’.

Dan ketahuilah wahai saudaraku.., bahwa selama pembuktian pertemuan kepada Allah (Nur) belum bisa kita buktikan, maka dapat dipastikan selama itu juga kita akan terbelit dan terbenam dengan ketidakmengertian kita itu.

Pertanyaan :
Untuk dapat menemui Allah menggunakan apa..? (dengan media apa..?) dan kita harus mencari-Nya kemana…?

Jawaban :
Media mencapai Allah
Darah dan daging (jasad yang termasuk juga indra fisiknya) tidak akan sampai kepada Allah, karena darah dan daging yang berasal dari saripati tanah akan kembali menjadi saripati tanah. Sedangkan yang mampu bertemu kepada Allah dengan tidak dibalik tirai hanyalah Khalifahnya yang ditiupkan-Nya kepada janin/jasad kita manusia sewaktu masih berada didalam rahim atau kandungan ibu kita, sementara malaikat dan iblis masih dibalik tirai dan tidak sampai kepada Allah.

Mencari Allah kemana..?
Seperti yang telah dijelaskan juga pada Article ini, bahwa Allah dekat bahkan lebih dekat daripada urat leher hamba-Nya, Aku telah memilihmu untuk diri-Ku, Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy, dan Dia juga mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa juga yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.

Oleh karena itu, janganlah kita membuang-buang waktu dalam mencari Allah, atau mungkin kita berjalan jauh berkeliling dunia mencari Allah, karena Allah sudah ada bersama kita dimanapun kita berada, dan Allah Maha Meliputi segala sesuatu. Haruslah kita mencari-Nya dengan bertamu kedalam rumah-Nya yaitu bertamu kedalam rumah yang dibangun oleh Allah itu sendiri yaitu ‘Qolbu orang beriman’.

Dan didalam hadits-Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibnu ‘Umar r.a. bahwa :

“Sesungguhnya langit dan bumi tidak mampu untuk menampung Aku. Hanya hati orang yang beriman yang sanggup menerima”

Cara mencari Allah..?
Sesungguhnya mengenai cara mencari Allah sebenarnya sudah sangat jelas juga dijelaskan-Nya pada firman-Nya :

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS.Al Qashash (28):77)

Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka), (An Nisaa' (4):66)

Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman (Al Baqarah (2):223).

Carilah Allah dengan peralatan yang telah Allah anugerahkan kepada kita, dan bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu, maka kamu akan menemui-Nya.

Dan disini tentunya, janganlah kita salah dalam menterjemahkan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut. Karena, jika salah kita dalam menterjemahkan ayat-ayat tersebut, maka akan sangat fatal sekali akibatnya, karena bisa-bisa kita menjadi bunuh diri, menyiksa diri dan lain sebagainya.

Dan selanjutnya sebagai bahan renungan untuk lebih memantapkan tingkat keyakinan atau pemahaman kita mengenai hubungan kepada Allah, berikut kita lihat penjelasan atau uraian mengenai ‘Wuquf_Qalby’ (kosentrasi/tafakur) menurut K.H.Haderanie.

“Siapa yang menghadapkan (tawajuh) pandangan hatinya kepada ruhnya sendiri, niscaya terbuka untuknya apa yang ada pada Hadirat Ketuhanan dari segala rahasia. Ia akan sampai kepada makrifat Tuhannya dengan makrifat syuhudi (penyaksian). Karena hakikat ruh-kemanusian adalah seperti cermin dari Hadirat ketuhanan itu sendiri, yang padanya terdapat kekuatan pikiran murni (quwwatul-aqliyah) yang merupakan jauhar yang dapat melihat semua rahasia sifat-sifat Allah, nama-nama-Nya dan Zat-Nya yaitu dengan menyisihkan bayangan (hijab), sehingga dia dapat melihat dengan pikiran dan indranya”. (Siraj. Tholibin) (4M K.H.Haderanie hal 89)

“Seorang pencari Allah (salik) harus mengosongkan terlebih dahulu semua pikiran, dan melemaskan seluruh kekuatan, tenaga dan panca indra, dan melepaskan nafsunya.. Setelah itu pandangan hatinya berhadap kepada hakikat hati dan tenggelam (istighfaraq), sirna (istihlak) secara terus menerus. Dan bila tawajjuhnya meningkat kepada hakikat hati itu, maka bertambah pulalah makrifatnya kepada Tuhannya Yang Maha Suci”. (Siraj. Tholibin) (4M K.H.Haderanie hal 90)

“Seorang salik bertawajjuh (mengerahkan pandangan mata hatinya) kedaerah hati setelah mengosongkan segala macam kesibukan atau keruwetan, lalu memandang/mengamati tubuhnya selanjutnya dia khayalkan rohnya menembus lapisan-lapisan langit dan bumi, kemudian tenggelam dalam pandangan atau pengamatan itu secara terus menerus, dan kita harus segera kembali lagi kepada pandangan atau pengamatan itu mana kala kita lupa/lalai dari pada-Nya, sehingga sampai fana kepada pandangan yang seperti bolah bunder. Dan selanjutnya si salik harus melemaskan seluruh kekuatan dan penginderaannya, sehingga tampaklah baginya ruh yang bersifat ruhani yang bersih dan cemerlang. Dan setelah itu cahaya ruh itu bergabung kepada nurul haq swt. Sehingga tak ada yang lebih tampak kecuali Nurul Haq. Dialah Wujud Mutlak, Maha Tampak Ke-Agungan-Nya” (Siraj Tholibin) (4M K.H.Haderanie hal 92)

“Seseorang salik berhadap kepada hatinya sendiri, kemudian tergambar ruh-Nya pada hatinya berupa cahaya yang bersih cemerlang tiada terhingga, dan tergambar pula pada hakikat ruh-Nya berupa cahaya (sampai) kepada rupa alam seperti burung diudara, dan tergambar juga ruh-Nya meliputi rupa tubuhnya dan meliputi gambaran alam. Si salik melihat ke gambaran-gambaran tersebut didalam ruh, lalu istighraq di penglihatan itu, Lalu bertambahlah rasa keterpaduan itu dengan rasa kerinduan terhadap gambaran alam serta terus menerus, hal yang demikian harus dilakukan dengan berulang-ualng sehingga si Salik merasa seolah-olah dialah hakikat seluruh ragam jenis bagi semua alam yang tak ada batas itu. Bahkan seharusnya si Salik harus merasa dirinya sendirian mengelolah gambaran yang terhimpun itu. Maka siapa yang melakukan cara-cara ini terhadap ruh-Nya dia akan mengenali hakikat ruh-Nya, karena seluruh hakikat alam ini tercakup dalam ruh insani yang mengandungnya. Siapa yang mengenal ruh-Nya dengan himpunan segala hakikat seluruhnya itu, sesungguhnya dia sudah mengenal ruh-Nya sendiri. Dan dengan itu dia dia akan sampai kepada Tuhan Yang Maha Nyata dan Maha Mulia (4M K.H.Haderanie hal 94)


CARA NABI MUSA MENEMUI ALLAH

Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau." Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku." Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.(QS.Al A’raaf (7):143)

Dari melihat keterangan firman Allah tersebut diatas .(QS.Al A’raaf (7):143), paling tidak ada beberapa point yang dapat kita pelajari bila ingin mencontoh Nabi Musa a.s dalam usahanya untuk mencari Allah, yang diantaranya :

1. Keinginan dan Doa

“Nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”

Dari kutipan atau keterangan ayat Al-Qur’an tersebut, dimana dikatakan bahwa Nabi Musa a.s dengan tanpa berbelit-belit memohon atau meminta kepada Allah agar Allah memperlihatkan wajah-Nya kepada Nabi Musa a.s.

Berkaca dari cara berdoanya nabi Musa a.s tentunya, jangan kita ragu-ragu atau berbelit-belit dalam bermohon atau bermunajat kepada Allah, dan hendaklah dengan bahasa yang simple dan lebih mengena (focus). karena dikatakan, bila hamba-hamba-Nya benar-benar ingin menemui-Nya maka janji Allah pasti akan datang.

Dan janganlah kita mendua (menjadi sapi belang) dalam bermunajat untuk pertemuan kepada Allah tersebut, karena dengan kita mendua (permintaan bercabang), bisa membuat konsentrasi kita kepada Allah menjadi kurang fokus, membias dan menjadi tidak tepat sasaran.

Dan seringkali juga kita kadang tidak mengerti terhadap apa yang kita ucapkan didalam berdoa, sehingga kadang doa-doa yang kita munajatkan kepada Allah tersebut terasa hampa begitu saja dan tidak membekas atau tanpa mendapatkan apa-apa dari apa yang telah kita doakan tersebut. Dan cobalah kita segera introspeksi diri bila doa-doa kita belum dikabulkan Allah, karena di dalam Al-Quran disebutkan atau difirmankan, memintalah kamu kepada-Ku maka pasti akan Aku berikan atau kabulkan. Jadi disini cobalah kita introspeksi, dan mungkin ada yang salah dalam doa kita tersebut. Atau mungkin, kita salah kepada siapa kita meminta atau memohon (musryk atau meminta kepada selain Allah), sungguh hal yang sangat sia-sia.

2. Tempat Allah memperlihatkan Wujud-Nya dan cara Khusu’/Konsistennya Nabi Musa a.s

“Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”

Dari melihat kutipan firman Allah tersebut, tentunya kita juga harus mengerti dan paham terhadap apa yang dimaksud dengan bukit atau gunung yang disampaikan pada ayat Mutasyaabihaat tersebut. Dan biasanya.., secara pemahaman awam.. bahwa yang dimaksudkan dengan bukit yaitu sesuatu tempat atau suatu daerah yang keberadaannya ada diatas kita (dataran-dataran yang lebih tinggi), yang secara arti harfiahnya atau tersuratnya yaitu seperti gunung-gunung kecil atau daerah-daerah perbukitan. Sedangkan untuk makna tersiratnya (tersembunyinya) adalah kepala kita (manusia) atau bagian anggota badan kita yang keberadaanya ada diatas kita, yaitu tempat dimana indra-indra fisik kita berada.

Dan didalam firman-Nya tersebut juga disebutkan, bahwa kamu (Nabi Musa) tidak akan sanggup melihat-Ku (melihat Allah), akan tetapi jika Nabi Musa a.s tetap berada ditempatnya (lebih fokus / khusu’ / konsisten) maka Nabi Musa a.s pasti akan bisa melihat kepada Allah.

Yang artinya : jika Nabi Musa a.s bisa benar-benar lebih fokus atau lebih bisa konsentrasi (lebih khusu’ / serius), maka pasti nabi Musa a.s bisa melihat kepada Allah.

Yang tantunya dari kita melihat pengertian ayat-ayat Mutasyaabihaat tersebut, sebenarnya adalah tinggal bagaimana cara kita saja didalam bermunajat kepada Allah tersebut, dan sesungguhnya Allah juga sudah memberi kepastian kita (manusia), bahwa jika hamba-hambaku bermohon kepada-Ku maka pasti akan dikabulkan-Nya.

3. Rasa Syukur

Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.

Yang tentunya juga, pengertian gunung yang terdapat pada firman Allah tersebut, sama juga halnya seperti pengertian bukit yang telah kita jelaskan/uraikan sebelumnya tadi, yaitu kepala kita (manusia) atau tempat anggota badan yang keberadaanya ada diatas kita atau tempat dimana indra-indra fisik kita berada.

Dan pada keterangan firman-Nya tersebut juga dijelaskan bahwa, tatkala Allah memperlihatkan wajah-Nya kepada Nabi Musa a.s, maka Nabi Musa a.s menjadi pingsang, terfana, terpesona atau tercengah karena melihat keindahan-Nya, sehingga segala sesuatu yang bersifat keduniawian dan kebendaan yang terdapat dibenak atau pikiran Nabi Musa a.s. menjadi hilang, sirna dan terlupakan karena keindahan-Nya tersebut.

Dengan demikian, maka pada kondisi seperti itu, tidak ada satupun yang Nabi Musa a.s lihat selain Wujud Allah, keindahan yang tiada tara, Cahaya diatas Cahaya, Allah Azza Wajallah Tuhan Semesta Alam. sehingga dengan Penyaksian (Mukhasyafah) kepada Allah tersebut membuat Nabi Musa a.s takjub, sadar, bertaubat, beriman dan bersyukur kepada Allah SWT. Sehingga berucap :

"Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman”


MENCONTOH MURID NABI MUSA
DAN RATU BILQIS DALAM BERGURU


Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang, karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya". (Al Baqarah (2):55).

Nabi Musa a.s dalam keterangan firman-Nya tersebut digambarkan yaitu sebagai seorang guru mursyid yang sudah mengenal Allah (Ma’rifatullah) yang kemudian dituntut oleh para murid-muridnya yang sedang fakir (butuh) terhadap pertemuan kepada Allah. Selain itu juga dikatakan, bahwa para murid-murid Nabi Musa a.s tersebut tidak akan percaya kepada sang guru yaitu Nabi Musa a.s apabila sang gurunya (Nabi Musa a.s) tidak bisa atau tidak mampu mengantarkan mereka kepintu Baitullah untuk bertemu kepada Allah.

Dan kemudian alhamdulillah dengan perantara Nabi Musa a.s (guru mursyid yang sudah mengenal Allah) dan dengan seizin Allah SWT para murid-murid Nabi Musa a.s “disambar petir” atau “disambar kilat cahaya yang maha dahsyat”, sehingga mereka menjadi melihat kebesaran Cahaya Terpuji (Nurrullah), melihat Cahaya diatas Cahaya, sehingga pada saat itu mereka secara spontan berucap :

“Ya Allah! Alangkah besarnya Engkau, dan mulai saat ini kami akan beriman kepada-Mu.”

Demikian juga halnya yang telah diucapkan oleh Ratu Bilqis dihadapan sang gurunya Nabi Sulaiman a.s. setelah beliau diperlihatkan istana kaca yang berkilau-kilauan.

Dikatakan kepadanya: "Masuklah ke dalam istana." Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah Sulaiman: "Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca." Berkatalah Balqis: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam." (An Naml (27):44)

Tentunya, dengan penyaksian Ratu Bilqis tersebut, mengantarkan Ratu Bilqis kepada keimanan kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Dan sudah barang tentu juga dengan penyaksian Ratu Bilqis tersebut membuat Ratu Bilqis bisa lebih mudah mengingat Allah dimanapun ia berada.

Awaluddini Maqrifatullah’ (Awal beragama mengenal Allah).

Demikianlah awal beragama yang telah dicontohkan oleh para murid-murid Nabi Musa a.s. dan Ratu Bilqis. Dan di Indonesia juga hal yang seperti itu telah juga dikiaskan, yaitu seperti cerita Sunan Kalijaga sewaktu melihat atau diperlihatkan cahaya emas sebesar pohon aren oleh gurunya.

Dan untuk menerima petunjuk atau pimpinan cahaya-Nya tersebut, janganlah kita takut dengan cerita “pecahnya gunung Tursina”. Dan disini tentunya kita harus mengerti dan paham terhadap dimaksud Gunung Tursina tersebut.

Gunung Tursina atau bukit yang ada diatas kita atau bukit yang disampaikan didalam surat Al Baqarah 63;64,65,93 yaitu kepala kita manusia tersebut hendaklah dapat kita manfaatkan agar kita bisa mencapai atau menemui Allah. Dan hendaklah bertanya kepada Ahlinya (Mursyid) bila kita tidak mengerti tentang hal tersebut, karena bila kita tidak mengerti terhadap apa yang disampaikan ayat-ayat tersebut, dimungkinkan kita akan terus terbelit dan berputar-putar pada dogma-dogma yang tidak berkesudahan tersebut.

Dan untuk mempelajari ilmu dunia sampai selesai (sampai tamat), tidaklah cukup umur kita manusia walaupun akan ditambah 212 tahun atau 1000 tahun lagi. Oleh karena itu, pelajarilah ilmu dunia tersebut dengan tanpa harus kita melupakan belajar ilmu mengenal Allah (ma’rifatullah).

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Al Qashash (28):77)

Dan bila kita mau belajar seperti caranya para pendahulu-pendahulu kita yang sudah mengenal Allah, dimana mereka dalam mempelajari ilmu mengenal Allah tersebut tidaklah terlalu banyak waktu yang mereka habiskan. Dan hal tersebut telah dicontohkan oleh sahabat Nabi yaitu : Salman Al-farizi yang hanya membutuhkan waktu yang lebih kurang 2 (dua) minggu untuk menghatamkan ilmu mengenal Allah.

Dan cobalah kita belajar menghindar dari sifat-sifat fanatik (mau menang sendiri), sebab sifat fanatik tersebut bisa membawa kita kepada penyakit buta dan tuli terhadap kebenaran, apalagi jika sampai kita menjadi orang yang fanatik buta, tentu akan sangat berbahaya sekali, karena fanatik buta tersebut bisa menjurus kepada sifat yang memaksa dan ingin membenarkan pendapat kita sendiri.

Dan ketahuilah wahai saudara-saudaraku, bahwa Article-Article agama dan tulisan-tulisan yang terdapat pada Article ini sesungguhnya hanyalah berguna untuk pemantapan keyakinan dan memupuk tekad serta karep kita saja untuk menemui Allah. Sedangkan realisasinya (bisa bertemu atau tidaknya kita kepada Allah) tentu akan sangat tergantung sekali dari kemauan/keinginan kita dalam berusaha mencapai-Nya.

Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.( Al Qashash (28);56)

Karena seperti yang kita ketahui, bahwa betapapun lengkapnya tulisan-tulisan yang ada didalam Article yang telah disajikan oleh Imam Al Ghazali dalam Articlenya Ihya Ulumuddin dan Article Tasawuf Modern yang telah dipaparkan oleh Bapak Buya Hamka, belumlah mampu memberikan petunjuk kepada umat manusia untuk berjalan menuju gerbang Bait Allah, jika kefakiran untuk menemui Allah tersebut tidak datang dari diri orang yang bersangkutan.

Dan tentunya juga, bahwa ilmu-ilmu yang kita peroleh, baik yang tersurat maupun ilmu yang tersirat, yang termasuk juga ilmu agama dan ilmu falsafah, sebenarnya semuanya tersebut baru merupakan ilmu pengetahuan saja dan belum menyentu kepada Maqrifatullah. Karena Maqrifatullah (menemui Allah) tersebut sesungguhnya adalah penyingkapan penglihatan mata bathin kepada Al-Haq dan bukan merupakan atau sama seperti ilmu-ilmu tersebut.

Dan tentunya, penyingkapan penglihatan mata bathin (Maqrifatullah) tersebut tentu tidak dapat dituliskan, digambarkan atau diceritakan dan diturun diajarkan kepada orang lain, walaupun kepada orang yang sangat kita cintai atau kita kasihi, seperti halnya Nabi Ibrahim a.s. yaitu seorang Nabi, dan juga seorang yang ahli dalam ilmu mukhasyafah kepada Allah, dan juga merupakan kekasih Allah, akan tetapi beliau juga tidak berhasil membujuk orang tuanya (ayahnya) untuk menerima ilmu yang bermanfaat (maqrifatullah) yang beliau miliki.

‘Engkau tidak akan mampu mengajak orang yang sangat engkau kasihi, kalau tidak atas karunia-Ku’.

Akan tetapi pernyataan yang demikian itu (ketidakberhasilan Nabi Ibrahim a.s. dalam membujuk orang tuanya untuk menemui Allah) janganlah menjadi pengganjal bagi kita dalam berusaha untuk menemui Allah. Karena didalam Al-Qur’an Allah telah beritahukan agar kita meminta dan memohon kepada-Nya, maka pasti akan dikabulkan-Nya.

“Akan Aku pimpin barang siapa yang Aku senangi. Dan akan Kutunjukan jalan-Ku kepada mereka yang Aku sukai. Dan akan Aku angkat diantara mereka ke tempat terpuji apabila meraka benar bermohon kepada-Ku”.

Tentunya, bukti dari terkabulnya permohonan kita terhadap Allah SWT tersebut biasanya hati kita menjadi terasa lebih lega, pikiran kita akan terasa lebih tenang, yang seperti digambarkan-Nya didalam firman-Nya :

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.(Ar Ra'd (13);28)

Diskusi membicarakan agama Allah sesungguhnya sangatlah menyenangkan, dan bertukar pikiran semalam suntukpun tentu tidak akan terasa membosankan. Apalagi jika didalam diskusi tersebut ada yang lebih mengerti, tentu tingkat keilmuan kita juga akan terasa melambung naik dan tanpa terasa menunggu waktu. Dan berbeda dengan pembicaraan-pembicaraan yang hanya menyangkut tentang lahiriah (dunia), dimana didalam pembicaaan-pembicaaan kita tersebut kadang kita sering terlenah dan terjebak didalam rincian-rincian ilmu hukum dan ketentuan-ketentuan untuk jasmani kita saja, yang terkadang juga kita lebih cenderung melupakan intinya dan menjadi larut dan tenggelam kepada hukum-hukum boleh atau tidaknya saja atau halal atau haramnya saja, bid’ah atau tidak bid’ah dsb.

Disini cobalah berusaha kita sedikit lebih selektif atau mencoba memilah-milah dalam pembicaraan jika kita dalam usaha pencarian kepada Allah. Karena, jika kita terlalu berlama-lama membicarakan masalah-masalah “juz’iyah” atau masalah-masalah yang boleh atau tidaknya saja, dikhawatikan tujuan akhir kita untuk menemui Allah menjadi tidak tersampaikan. Yang akhirnya waktu kita habis atau kesempatan kita menjadi hilang, dan karena proses berjalannya umur akhirnya neraka jahannam menunggu kita.


CARA MENERIMA CAHAYA-NYA

Atas nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha penyayang

Untuk menerima Cahaya-Nya setidaknya ada 3 (tiga) point yang harus kita pahami dan yakini, seperti :

1. Allah dekat dengan hamba-Nya, dan bahkan meliputi hamba-Nya.
2. Allah dapat ditemui semasa kita hidup di dunia.
3. Wujud Allah yang dapat kita temui/lihat dengan mata qolbu yaitu berupa “Cahaya” (Nurullah) atau “Cahaya diatas Cahaya” atau “Maha Cahaya”.

Dan sesungguhnya penjelasan mengenai 3 (tiga) point tersebut, sudah kita bahas secara panjang lebar pada bagian sebelumnya yang terdapat pada Article ini.

Dan selanjutnya masih dalam kontek cara menerima Cahaya-Nya ini. Tentunya, agar kita bisa menerima Cahaya-Nya hendaklah kita fakir hanya tertuju kepada Allah SWT. Dan bermohonlah kepada Allah SWT sesuai petunjuk-Nya seperti yang terdapat didalam Kitab Suci. Dan mengenai tata caranya, sesungguhnya sudah juga dicontohkan oleh para Nabi dan pleh para pendahulu-pendahulu kita, seperti tata cara bermunajatnya Nabi Muhammad SAW sewaktu di gua Hira, atau cara pelaksanaan perjalanan malam (Isra’) dan naik (Mi’raj) Nabi Muhammad SAW untuk bertemu kepada Allah.

Untuk menemui Cahaya-Nya, hendaklah kita bangun diwaktu sepertiga malam yang tinggal sedikit atau sebelum beduk subuh berbunyi atau sebelum ayam jantan berkokok. Yang tentunya, waktu tersebut adalah waktu yang tidak terikat oleh jarum jam. Karena waktu di berbagai belahan dunia kadang berbeda dengan waktu di tempat kita. Karena, kadangkala waktu ditempat kita malam sementara waktu ditempat lain atau dibelahan dunia lain masih siang/sore.

Dan pada saat tengah malam atau diwaktu sepertiga malam tersebut sesungguhnya umat manusia sudah berada di “Lemba suci Thuwa” asalkan manusia tersebut bisa meninggalkan “kedua terompahnya”. Dan tentunya yang dimaksud dengan terompah disini sebenarnya bukanlah sandal atau sejenis alas kaki yang sering kita pakai sehari-hari. Akan tetapi yang dimaksudkan dengan terompah disini seseungguhnya adalah hawa nafsu atau beban pikiran yang menyelimuti atau menguasai pikiran kita.

Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada dilembah yang suci, Thuwa. (Thaahaa (20);12).

Lakukanlah renungan suci (tafakur) disepertiga malam yang tinggal sedikit dengan penuh khusu’. Dan mengenai tempatnya haruslah dilakukan didalam diri kita sendiri, yaitu didalam jasad yang terbuat dari tanah liat (Hijr 26). Karena, didalam Jasad (hati/qolbu orang beriman) tersebut juga Allah bersemayam dan memperbolehkan kita untuk memanggil-Nya.

“Sesungguhnya langit dan bumi tidak mampu untuk menampung Aku. Hanya hati orang yang beriman yang sanggup menerima” (hadits-Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibnu ‘Umar r.a)

Dan selama proses renungan suci (tafakur), pastikan juga bahwa kita tidak melihat sesuatu yang ada diatas dunia ini, termasuk juga melihat dan mengingat benda-benda kramat atau benda-benda yang sengaja disucikan. Karena semua benda yang ada didunia ini tidaklah bisa menolong kita, karena semua hanyalah ciptaan-Nya dan bukan Dia.

Sesungguhnya bangun pada malam yang tinggal sedikit (disepertiga malam) untuk tujuan bermunajat kepada Allah amatlah besar manfaatnya. Dan jika kita ingin bangun untuk melaksanakan shalat tahajud, hendaklah sebelum tidur kita pasangkan niat (berniat), mudah-mudahan atas izin Allah kita akan dibangunkan-Nya untuk tujuan shalat tahajud tersebut.

Dan tidak perlu kita berteriak-teriak dalam berniat tersebut, karena Allah Maha mendengar, Allah Maha Mengetahui, Allah dekat dengan hamba-Nya, dan bahkan lebih dekat daripada urat leher hamba-Nya. Dan sebaiknya juga, pakailah bahasa yang dapat dimengerti atau dipahami oleh kita dalam berniat tersebut, karena Allah SWT mengetahui bahasa apapun yang kita pakai yang termasuk juga bahasa semut atau bahasa-bahasa yang lainnya, karena Allah mengetahui apa yang terbetik di hati kita.

Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.( Al A'raaf(7);55)

Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi. (Thaahaa (20):7)

Dan setelah kita bangun disepertiga malam tersebut, siramlah badan dan berwuduklah dengan niat memohon petunjuk-Nya, yang secara syareat cucilah hidung, muka, tangan, kening, kuping dan kaki. Dan tentunya, yang lebih penting lagi, berwuduklah secara hakekat, yaitu dengan membersihkan tangan dari perbuatan jamahan-jamahan yang terlarang, lalu hindarkan langkah kita dari perbuatan yang sesat, dan kemudian berjalanlah pada jalan yang lurus menurut dunia, untuk mendapatkan jalan yang lurus kepada Allah. Kemudian hindarkan mulut dari perkataan yang menyakitkan perasaan orang lain, dan lebih baik kita diam daripada kita harus mengeluarkan omongan-omongan yang tidak berguna atau tidak ada manfaatnya.

Dan juga bersihkanlah diri kita dari pandangan yang membenci, lalu tanamkanlah rasa kasih sayang dihati kita. Dan tidak perlu didengarkan pembicaraan yang tidak bermaanfaat, lalu terimalah perkataan yang berguna walaupun datangnya dari figur seorang yang tidak tersohor atau tidak terkenal sekalipun. Sebab, kadang ada kalanya kata-kata yang syarat dengan isyarat kebenaran itu keluar dari mulut orang-orang yang tidak punya derajat didalam masyarakat, yang mungkin dia bukan ustad atau dia bukan mubaliq, seperti halnya perkataan tentang ketauhidan (ketuhanan) yang keluar dari mulut seorang Syamsi Tabriz yaitu seorang yang tidak terlalu terkenal tetapi beliau mempunyai ilmu ketauhidan yang mungkin tidak jauh atau setingkat dengan Iman Al-Ghazali.

Dan untuk renungan suci (tapakur) tersebut hendaklah pada ruangan yang bebas dari polusi dan bebas dari kebisingan suara maupun ketajaman cahaya. Dan ruangannya sebaiknya sekecil mungkin, seperti halnya kamar-kamar yang ada disamping mesjid di Madinah, yaitu tempat para sahabat Nabi dahulu sewaktu melaksanakan sholat-sholat khususnya.

Dan sebelum pelaksanaan renungan suci (tafakur) tersebut, sebaiknya lakukan terlebih dahulu shalat tahajud dua rakaat dengan niat untuk bertemu kepada Allah, seperti niat atau doa yang di ucapkan oleh Nabi Musa a.s agar Allah memperlihatkan wajah-Nya kepadanya (Nabi Musa a.s).

“Ya Allah! Perlihatkanlah wajah Engkau kepadaku agar dapat aku sembah”.

Dan setelah selesai sholat tahajud tersebut, tetaplah pada posisi duduk tahiyat, dan meletakkan tangan diatas lutut dengan posisi terlungkup yang kemudian mengatur atau merapatkan posisi jempol kaki (sejajar) dan posisi lutut berdempet. Dan selanjutnya pastikan juga badan kita tidak membungkuk/miring untuk kepentingan kesehatan jasmani. Juga sebaiknya lakukan tata cara tersebut diatas tikar sajadah (diberi alas) agar dalam proses renungan suci (tafakur) tersebut tidak terjadi pemborosan energi.

Kemudian lakukanlah istiqpar beberapa kali sebagai rasa penyesalan kita terhadap kesalahan-kesalahan yang telah kita perbuat/lakukan selama ini. Lalu pelan-pelan pejamkan mata dan buatlah perasaan kita serilek mungkin, yang kemudian mengatur atau menarik nafas dan ditahan di perut sembari membacakan surat Al-Fatehah didalam hati sebanyak-banyaknya (membaca surat Al-Fatehah dengan tetap menahan nafas ditahan di perut) agar ditunjukan jalan yang lurus, seperti jalan orang-orang yang Allah beri nikmat, bukan seperti jalan orang-orang yang Allah murkai atau sesat.

Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus, (Al Faatihah (1):5,6)

Dan selanjutnya, lepaskanlah nafas secara perlahan-lahan melalui mulut dan sembari bertasbih/menyebut nama Allah, seperti mengucap Allahu akbar, subhannallah atau nama-nama Allah (Almaul Husna) yang lainnya.

Lakukanlah tata cara tersebut terus menerus atau secara berulang-ulang dan dengan perasaan seikhlas mungkin, mudah-mudahan bisa menemukan Cahaya Allah (Nurullah).

Tentunya hasil penyaksian atau mukhasyafah tersebut tidaklah hanya cukup diterima begitu saja, akan tetapi hasil mukhasyafah tersebut harus bisa kita uji dengan Al-Qur’an. Karena, bila hasil penyaksian atau mukhasyafah tersebut tidak sesuai dengan Al-Qur’an tentu penyaksian atau mukhasyafah tersebut tidak dapat kita benarkan, karena Al-Qur’an merupakan pegangan yang datangnya dari Allah SWT.

“Adat bersendi Syara’, Syara’ bersendi Kitabullah”

Menurut pepatah orang minang, adat boleh dipakai selama adat tidak bertentangan dengan agama, sedangkan agama boleh dipakai atau dilaksanakan selama agama tersebut tidak bertentangan dengan Kitabullah (kitab suci).

Dan kemudian tahap selanjutnya berdzikirlah dengan bertasbih (menyebut) atau mengagungkan nama-nama Allah, yang pada tahap awal lakukan dengan cara perlahan-lahan atau dengan cara berbisik-bisik. Kemudian lakukanlah dengan mengikuti naik turunnya nafas kita yang sehingga sampai pada penghayatan ke lubuk hati yang terdalam.

Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.( Al A'raaf(7);55).

Kemudian, panggillah Allah dengan bahasa yang lemah lembut dan dengan penuh kesabaran, insya Allah janji Allah pasti datang. Karena “Sejengkal engkau ingin menemui-Ku, maka sedepa Aku mendatangimu. Berjalan engkau kepada-Ku, maka berlari Aku menghampirimu”. Allah Maha mendengar, Allah Maha Mengetahui segala apa yang tersembunyi.

Dan selanjutnya, ulangi kembali cara yang sebelumnya tadi, agar kita bisa ditunjukkan kepada Cahaya-Nya. Dan bersabarlah bila kita belum ditunjuki-Nya. Dan juga yang lebih penting, yakinkanlah diri kita bahwa Allah sesungguhnya bisa kita temui (bila Dia menghendaki), karena Allah mengabulkan permohonan hambanya bila hambanya meminta atau memohon kepada-Nya.

Sesungguhnya Allah dekat dan bahkan lebih dekat daripada urat leher hamba-Nya. Dan jarak 50.000 tahun cahaya bumi tidaklah menjadi penghalang untuk menemui Allah (Al Ma´aarij (70):4), karena kecepatan Ruh (Rohani/ruh-Nya) yang ada pada diri manusia tersebut sebenarnya sudah jauh lebih cepat daripada kecepatan cahaya yang ada di bumiini, dimana hal tersebut digambarkan kecepatannya seperti kendaraan yang bisa terbang secepat kilat, seperti yang dikiaskan yaitu seperti kendaraan buraq yang dikendarai oleh Nabi Muhammad SAW sewaktu beliau berangkat untuk bertemu kepada Allah SWT.

Dan yakinkanlah, bahwa kecepatan Maha Roh (Allah), bahkan jauh lebih cepat daripada kecepatan Ruh (Rohani) yang ada pada diri kita. Sehingga dikatakan “berjalan engkau kepada-Ku, maka berlari Aku menjumpaimu.”

Bersunyi diri atau renungan suci atau tafakur tersebut dapat juga kita laksanakan bersama orang lain, misalnya bersama anak, istri ataupun suami. Dan janganlah kita buang-buang waktu atau berjalan jauh berkeliling dunia untuk mencari Allah, atau mungkin sampai kita berkelana jauh meninggalkan anak dan istri/suami. Karena, bila kita berjalan jauh berkeliling dunia untuk mencari Allah yang kemudian didalam perjalanan pencarian-Nya tersebut mungkin terjadi mala petaka atau terjadi musibah, yang salah sesungguhnya bukanlah Allah, karena itu adalah kesalahan diri kita sendiri yang salah dalam menafsirkan ayat-ayat-Nya. Karena, didalam Al-Qur’an sebenarnya sudah berulangkali disebutkan bahwa Allah dekat, dan bahkan lebih dekat daripada urat leher hambanya, kenapa kok kita malah mencarinya kemana-mana.

Ruh (rohani) yang Allah tiupkan kepada manusia (Al.Hijr (15):29) sangatlah tinggi nilainya dan juga sangat hebat kemampuannya, dan juga sangat dihormati oleh para Malaikat, para Jin, yang kadang saja kita yang melupakannya.

Kemudian selanjutnya bila kita telah bertemu kepada Allah, maka perbanyaklah mengingat-Nya pagi dan petang, seperti halnya mengingat bapak atau mengingat orang tua kita sendiri, dan bahkan harus bisa lebih dari itu.

Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia", dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat.(AlBaqarah (2):200)

Dan bila kita belum juga bisa bertemu kepada Allah, janganlah kita berputus asa, dan mungkin sementara kita shalat dulu seolah-olah kita melihat Allah, serta yakin bahwa Allah melihat kita, “Bershalatlah engkau seolah-olah melihat-Nya, kalau tidak mungkin bershalatlah seolah melihat-Nya”

Hadits tersebut tentu memberi kesempatan kepada kita, jika kita belum bisa mencapai-Nya (menemui-Nya). Akan tetapi kata seolah-olah (seakan-akan) melihat Allah dalam ibadah kepada-Nya tentu agak menggambarkan keragu-raguan kita dalam berhubungan kepada Allah. Dan rasanya hal itu perlu kita pertegaskan lagi, bahwa penyembahan kepada Allah dengan hanya dikira-kira sungguh amat berbahaya.

Janganlah kita menjadi orang yang mudah pesimis dalam usaha menemui Allah, karena kita sudah diberikan kelengkapan yang sangat sempurna (Al Qashash ayat 77). Dan hendaklah dengan kesempurnaan yang telah Allah berikan kepada kita tersebut menjadikan kita mau berusaha untuk mencapai-Nya. Karena, sangat rugilah kita jika kemampuan yang telah Allah berikan kepada kita yang sempurna tersebut tidak bisa kita pergunakan dengan sebaik-baiknya.

Sekarang ini, cukup banyak diantara kita yang dalam shalatnya atau didalam kita berdoa kadang hanya minta urusan dunia saja, misalnya minta kaya, minta bebas dari hutang, minta naik pangkat, minta naik jabatan, minta punya pacar, minta mobil, minta rumah dan lain sebagainya.

Ketahuilah saudaraku, bahwa permintaan yang demikian, mungkin tak ubahnya seperti seorang nelayan yang hanya meminta ikan, dan tidak meminta pancingnya. Dan berbeda dengan orang yang mengerti, karena bagi orang yang mengerti tentu ia tidak akan meminta ikan, akan tetapi ia akan meminta bagaimana caranya membuat pancing. Kerena, dengan mempunyai pancing orang tersebut bisa lebih mudah untuk mendapatkan ikan untuk waktu-waktu berikutnya.

Sama juga seperti cerita Sunan Kalijaga yang disuruh menerima emas sebesar pohon aren oleh gurunya. Namun dalam cerita tersebut malah beliau menolak menerima pohon aren emas tersebut, dan malah beliau meminta agar diajarkan bagaimana caranya membuat emas.

Dan cerita emas Sunan Kalijaga tersebut sesungguhnya adalah penyampaian kias dalam hakikat, yang juga dapat kita praktekkan dalam tata cara berkehidupan (bersyareat).

Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus, (Al Faatihah (1):5,6)

Dan untuk tujuan jalan yang lurus kepada Allah, hendaklah jangan dicampuradukkan dengan kepentingan dunia, karena jalan lurus kepada Allah tersebut adalah pembuktian Al-Haq atau pembuktian kebenaran isi yang telah disampaikan didalam Al-Qur’an, karena dengan pembuktian Al-Haq tersebut membuat kita tidak hanya bisa menikmati syairnya saja, akan tetapi kita juga benar-benar bisa merasakan dan melihat langit terdekat yang penuh dengan bintang berkilauan, melihat lubang yang tak tembus atau di perlihatkan apa itu jembatan “Shiraathal Musthaqiin” dsb.

Dengan penyaksian tersebut juga tentu kita tidak lagi terjebak dengan ceritera-ceritera dongen rambut dibelah tujuh untuk diseberangi bila ingin mencapai surga. Atau cerita bahwa kita akan naik unta untuk menyeberangi jembatan Shiraathal Musthaqiin, yang dibawahnya terdapat api neraka jahanam dengan bara api yang menyala-nyala.

Sesungguhnya jalan lurus yang dimaksudkan pada ayat sebelumnya tadi adalah jalan untuk menemui-Nya dan “Akan kami pimpin mereka yang kami senangi untuk menerima atau menemui cahaya Kami” An Nur (24:35) atau “Akan Kami tunjukkan atau buktikan kepada mereka kebenaran dari ayat-ayat Al-Qur’an, agar semuanya menjadi jelas bagi mereka kebenaran dari ayat-ayat Kami” As Sajadah (41:53).

Dan bagi mereka yang telah dituntun kedalam cahaya terang akan berjalan didalam terang. Mereka yang telah ditunjukkan langit terdekat akan tahu dan mengerti langit ketujuh. Mereka yang sering melakukan perjalanan (mi’raj) akan selalu dalam bimbingan-Nya dan tahu jalan kembali.

Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu, pasti datang. Dan Dialah Yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.( Al 'Ankabuut (29):5).

Dan barangsiapa yang mengharap pertemuan kepada Allah, maka janji Allah pasti datang. Dan bila kita belum menemui-Nya, maka langkah yang terbaik bermohonlah dengan pembuktian agar dapat menemui yang gaib (menemui Allah) sewaktu berada didunia. Sebab bila sudah sampai ajal (mati), maka tidak satupun yang dapat kita perbuat lagi, dan yang ada hanya tinggal perhitungan “Ya atau Tidak” kembali kesisi-Nya atau tinggal gentayangan dibumi dalam kegelapan dan siksaan tanpa kendali. Dimana semua kaset yang terekam selama pengembaraan kita diatas dunia sebelumnya akan diputar kembali, dan tentunya tidak satupun yang tertinggal ataupun sengaja ditinggalkan. Itulah kebenaran yang dimiliki oleh rohani (ruh/roh-Nya).

“Setelah selesai dibentuk parasnya, dan sesudah bersatu sari patih itu menjadi mani, darah dan daging. Bersedia dia menerima anugrah, dia senang dalam bentuk bertekuk seperti huruf he (a). Ia bersinar ibarat pelita kaca bercahaya. Kristal-kristal bening menghias sekelilingnya. Tetapi kemudian ia lupa terbelit dengan dusta dunia. Menjadi hilang rupa hilang warna, kembali seperti tidak bernyawa, ia seperti ikan kering. Segeralah hapuskan semua itu dan bersegeralah untuk kembali mencari Dia agar sempurna kembali kepada-Nya.”

Dan pada dasarnya mencari ketenangan tidaklah mudah walaupun ketenangan itu sendiri sudah ada pada diri kita sendiri. Dimana kebanyakkan diantara kita kadang mencari ketenangan tersebut hanya dengan cara ‘bertamasyah’, ‘mengasingkan diri’, ‘ke diskotik’ atau ‘minum minuman keras atau mengkonsumsi obat-obatan terlarang’, menjadi pekerja sex dan lain sebagainya. Akan tetapi semuanya itu sebenarnya tidak banyak dapat membantu kita, dan bahkan sebaliknya malah justru bisa menjerumuskan kita.

Dan untuk mendapat ketenangan yang abadi, sebaiknya lakukanlah renungan suci (tafakur) mencari Allah, walaupun hanya sebentar, sebab dengan renungan suci (tafakur) insya Allah kita bisa mendapatkan ketenangan yang hakiki yang kita cari tersebut (ketenangan yang tiada tara).

Ibnu Taimiyah berkata :
“Ketahuilah bahwa didunia ini ada sorga, dan barang siapa yang belum pernah memasukinya, tidaklah dia akan masuk kedadalam sorga yang ada diakhirat. Dan Apa saja yang akan dilakukan musuh-musuhmu kepadamu, sorga itu tetap berada didalam dadamu, kemana engkau pergi dia akan ikut bersamamu. Jika engkau dipenjarakan, itu adalah untuk zikir dan khalawat dalam tafakurmu. Bila engkau diusir dari negerimu maka nilailah itu sebagai pemberian tamasyah untuk melihat alam terbentang guna dipelajari keanehan dari ciptaan Tuhan. Bila engkau kemalamam disebuah pulau terpencil akibat tidak adanya lagi angin yang mendorong bidukmu kepantai tempat kampungmu, maka gunakan malam itu untuk bermohon dalam tahajudmu. Bila engkau senang dengan Article, bacalah Article-Article yang bermanfaat untuk menemukan sorga itu. Maka lepaslah engkau dari rasa dipenjara sebab dipenjara itu adalah jasad bukan batin atau hatimu. Bila engkau disingkirkan atau terpaksa bermalam dipulau terpencil, itupun jasadmu yang tersisih, bukan bati atau kalbumu. Oleh sebab itu tidak perlu dirisaukan dan tenangkanlah hati.”

Orang yang tidak berakal tidak perlu baginya agama, demikian juga halnya dengan orang gila atau orang yang terganggu syarafnya. Dan Nabi Muhammad SAW juga dalam sabdanya mengatakan bahwa agama itu hanya untuk orang-orang yang berakal dan berpikiran sehat saja. Yang tentunya yang dimaksud dengan orang yang berakal dan berpikiran sehat tersebut tentu orang-orang yang bisa menyadarkan dirinya. Kerena, cukup banyak orang yang sehat dan berakal tetapi masih belum juga bisa membuka kesadarannya.

“Tinggalkan terompahmu bila engkau ingin menghadap. Kini engkau telah berada di lembah Suci Thuwa, tidak perlu kamu berkeras suara menghadap Aku. Aku tahu apa-apa yang terbetik dihatimu. Dari dulu Aku telah bersamamu, hanya kamu yang tidak mengerti. Kamu yang selalu terbelit dan berputar-putar”.

Dan bila ingin menemui Allah segeralah tinggalkan beban pikiran yang menyelimuti pikiran jasad kita atau seperti istilah lainnya yaitu bahwa untuk menemui Allah kita harus bisa melepaskan kesadaran fisik kita, yang karena dengan kita meninggalkan beban pikiran (kesadaran fisik), maka kita akan bisa masuk kepada kesadaran selanjutnya, yaitu masuk kepada kesadaran jiwa dan kemudian akan masuk kepada kesadaran Ruh dan bertemu kepada Allah.

Bila sang surya sudah mulai terbit di ufuk Timur atau di sebelah Barat itulah keberuntungan yang ditunggu-tunggu. Karena kita telah membuktikan/melihat kepada-Nya dengan tidak lagi terikat dengan tempat, ruang dan waktu.

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Al Baqarah (2):115)

Dan bila kita telah bertemu kepada Allah, tentu tidak ada kesulitan lagi bagi kita untuk berhubungan kepada Allah, yang kadang saja kita tidak mengerti tentang hal tersebut. Atau mungkin kita sengaja mencari jalan atau cara-cara yang berbelit-belit (berputar-putar). Atau mungkin juga guru yang membimbing kita untuk kejalan Tuhan tersebut yang belum mengerti harus mencari-Nya kemana.

Dan selama kita menolak untuk bertemu kepada Allah, maka selama itu pula kita akan terperangkap dengan penyembahan yang kira-kira (seolah-olah). Dan sesungguhnya semua contoh sudah diberikan-Nya, semua peralatan juga telah dilengkapi-Nya, dan Allah juga telah menyuruh kita untuk menemui-Nya :

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Al Qashash (28):77)

Dan dikampung akhirat tersebutlah Takhta Kerajaan yang Maha Besar itu berada. Dan kesitulah hendaknya semua umat manusia bercita-cita untuk kembali. Permohonan kepada-Nya harus diusahakan semaksimal mungkin, permohonan untuk bertemu kepada Allah haruslah dilakukan dengan istiqomah (terus-menerus) sampai dikabulkan-Nya. Itulah Tasawuf, itulah Tarekat untuk ilmu yang bermanfaat.

Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau." Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku." Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman." (Al A'raaf (7):143)

Dan setelah terbuka tirai yang menutup pandangan kita kepada Allah selama ini, maka Allah berkata :

“Sekarang pandangan engkau amatlah terangnya.”

Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.(Qaaf (50):22)

Itulah tempat terpuji yang disebutkan Allah didalam surat An Nur 24;35, yaitu menemui cahaya terang benderang. Rahmat Allah kepada umat-Nya agar tidak tersesat jalan.

Ber-Tarekat atau ber-Tasawuf untuk menemui yang disembah sesungguhnya merupakan kawajiban umat manusia, agar mampu mengingat-Nya dengan lebih terarah dan benar. Dan sudah menjadi tugas para Rasul Allah juga untuk membebaskan para umat manusia yang mau terhindar dari penyakit buta dan tuli terhadap kebenaran (Al-Haq).

Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia", dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat.( Al Baqarah (2):200)

Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu dan bertemu kepda Allah, maka berdzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya. Dengan demikian wajar bila kita harus menemui-Nya terlebih dahulu, agar bisa mengingat-Nya sebanyak-banyaknya, “Awaluddini maqrifatullah” (awal beragama mengenal Allah). Hal ini tentu tidak mengada-ada, karena demikianlah yang telah dipraktekkan dan dicontohkan oleh para Nabi dan oleh para pendahulu kita.

Dan kita sebaiknya mencontoh Nabi, seperti yang disebutkan didalam surat (An Naml 40). Dan bila yang kita cari sudah kita temukan, maka secara otomatis juga kita sudah diperintahkan untuk sering-sering berkunjung dan menemui yang Maha Besar dan Maha Indah itu. Karena disitulah letak kebahagiaan yang sempurna dan hakiki. Sebab, kadang kalah apa yang kita sebut bahagia selama ini, kadang semu dan belum tentu juga benar. Karena kebahagiaan yang selama ini yang kita damba-dambakan sebenarnya cenderung atau identik dengan penderitaan, dan kadang juga bisa menjerumuskan kita. Dan kebahagiaan tersebut seringkali juga kita temukan didalam masyarakat kita, seperti :

Orang yang tidak punya anak mungkin ia berfikir, bahwa ia mungkin bisa merasa lebih bahagia jika ia bisa mendapatkan seorang anak. Akan tetapi begitu ia mendapatkan anak, dan kemudian anak semata wayangnya itu terperangkap narkotik atau terperangkap obat-obat terlarang maka ia akan menyesal karena punya anak tersebut.

Seorang bisnisman atau pedagang, mungkin ia berfikir, apabila ia diberikan hak monopoli, maka ia akan kaya dan bahagia sekali. Akan tetapi, sesudah ia menjadi kaya dan kemudian dituntut karena hak monopolinya tersebut, maka dia tidak dapat tidur dan kemudian stress yang pada akhirnya menjadi menyesal juga.

Dan seorang perawan tua mungkin ia berfikir, dia akan bisa lebih bahagia apabila ia mendapatkan jodoh atau suami. Tetapi begitu ia mendapatkan jodoh dan jodohnya merongrong dan mengancam akan kawin lagi, maka ia menjadi menyesal juga dengan perkawinannya itu.

Seorang kepala desa mungkin ia bermohon didalam hatinya dan berkata bahwa apabila kayu hutan yang tumbuh didesanya ini laku dijual maka ia akan bisa bahagia karena mendapatkan uang yang lebih banyak. Tetapi begitu kayu-kayu didesanya habis dibabat, akhirnya desanya menjadi gersang, sehingga ia menjadi menyesal dan meminta agar hutan didesanya bisa menghijau kembali seperti semula.

Dan dari cerita-cerita tersebut diatas sebenarnya dapatlah kita simpulkan, bahwa sesungguhnya semuanya kebanyakan semu dan tidak abadi. Dan sesungguhnya tidak ada yang lebih hakiki dan lebih abadi selain bisa lebih akrab dan selalu berjumpa bersama-Nya dimanapun kita berada.

Dan kebahagiaan yang hakiki tersebut sesungguhnya bisa kita dapatkan semasa kita masih hidup didunia ini, dimana hal tersebut akan kita rasakan apabila kita sudah bisa memasuki alam orang bercinta, dimana mereka sebaya, mereka sama, mereka tenteram, mereka damai sentosa dan tanpa perselisihan paham serta rukun dan bersahaja.

Mereka mencintai dan dicintai, semua menjadi satu kedalam satu kesatuan keindahan yang Maha sempurna dalam cahaya yang berdampingan dengan sesama cahaya. Mereka laksana miliaran cahaya yang tak ada batasnya. Cahaya dan cahaya, melebur menjadi cahaya yang berbeda. Tetapi mereka tetap saja cahaya yang indah dan sempurna.

Cahaya yang bertingkat tingkat, semua cahaya tersebut berlapis, berbaris menuju cahaya yang paling mulia. Cahaya putih terburai menjadi cahaya pelangi yang berwarna-warni, yang terpancar ke segala penjuru alam semesta.

Seluruh cahaya akan berakhir kedalam penyatuan warna warni cahaya yang indah. Dan menjadi cahaya putih yang sangat indah dan sempurna, yaitu cahaya yang paling mulia. Cahaya berlapis cahaya, lubang yang tak tembus, istana kaca, bintang dilangit terdekat, kilat digunung Tursin, dan barangsiapa yang dikehendaki-Nya maka akan diperlihatkan dan dibimbing kepada Cahaya-Nya. Sehingga Allah mengucapkan salam keselamatan bagi orang-orang yang telah ditunjuki-Nya sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang”

Sekian Wassallam


Salim.Corp 0818-495565
www.salim.corp@yahoo.com